Latest Updates
Showing posts with label BUDAYA. Show all posts
Showing posts with label BUDAYA. Show all posts

Seppuku,Bunuh Diri Para Samurai

Seppuku,Bunuh Diri Para Samurai

 Seppuku  ("potong perut") adalah suatu bentuk ritual bunuh diri yang dilakukan oleh samurai di Jepang dengan cara merobek perut dan mengeluarkan usus untuk memulihkan nama baik setelah kegagalan saat melaksanakan tugas dan/atau kesalahan untuk kepentingan rakyat. Seppuku dulu hanya dilakukan oleh samurai.[1] Istilah seppuku ditulis dengan dua buah aksara kanji, yaitu: 切 (kiru) dan 腹 (hara). Aksara kanji untuk kiru dapat juga dibaca sebagai setsu (ucapan Tionghoa) yang berarti potong, sementara aksara kanji untuk hara dapat juga dibaca sebagai fuku (ucapan Tionghoa) yang juga berarti perut.

Seppuku adalah bagian dari kode kehormatan bushido, dan dilakukan secara sukarela oleh samurai yang menginginkan mati terhormat daripada tertangkap musuh (dan disiksa), atau sebagai bentuk hukuman mati untuk samurai yang telah melakukan pelanggaran serius, atau dilakukan berdasarkan perbuatan lain yang memalukan. Ritual memotong perut pada seppuku dilakukan di hadapan para saksi mata, samurai menusukkan sebuah pedang pendek, biasanya sebuah tantō ke arah perut, dan menggunakan pedang pendek tersebut untuk melakukan gerakan mengiris perut dari arah kiri ke kanan.

Etimologi

Di luar Jepang, seppuku lebih dikenal dengan sebutan harakiri (腹切り, arti harfiah: "potong perut"),[3] Harakiri ditulis dengan aksara kanji yang sama seperti halnya seppuku, tetapi urutan aksaranya dibalik ditambah sebuah okurigana.

Istilah harakiri mulai dikenal luas di dunia Barat sejak orang bangsa Eropa yang tinggal di Jepang menjadi saksi mata peristiwa seppuku yang menyertai Restorasi Meiji tahun 1868.[4] Menurut Sumiko Ōhashi dalam Malraux no Shi no Ishiki to Nihon-teki na Mono (Kesadaran Kematian menurut Malraux dan Hal-Hal Kejepangan) orang Eropa yang menyaksikan samurai yang melakukan seppuku tampaknya menjadi sangat terkejut. Kata harakiri lalu dimuat dalam kamus ensiklopedia Larousse tahun 1873.[4]

Dalam bahasa Jepang, seppuku adalah cara baca aksara kanji menurut cara Tionghoa (on'yomi) yang biasanya dipakai dalam bahasa tulisan, sementara harakiri, adalah cara baca asli Jepang (kun'yomi) dan lebih banyak dipakai dalam percakapan. Menurut Christopher Ross,

"Kata hara-kiri sering dijelaskan sebagai sebuah vulgarisme (ungkapan kasar), tapi sebetulnya ini adalah salah pengertian. Hara-kiri adalah cara membaca aksara kanji menurut cara Jepang (kun-yomi); oleh karena sudah menjadi tradisi untuk mengutamakan cara baca Tionghoa dalam pengumuman-pengumuman resmi, hanya istilah seppuku-lah yang dipakai dalam pengumuman resmi. Jadi, hara-kiri adalah istilah yang dipakai dalam percakapan, dan seppuku adalah istilah tertulis untuk tindakan yang sama."[5]

Oibara (kun'yomi: 追腹 atau 追い腹) atau tsuifuku 追腹 menurut cara baca on'yomi adalah praktik melakukan seppuku oleh samurai setelah kematian tuan mereka.

Dalam bahasa Jepang, istilah jigai (自害?) berarti bunuh diri. Namun istilah untuk bunuh diri dalam konteks modern adalah jisatsu (自殺?). Pada literatur Barat, seperti majalah seni bela diri, istilah jigai dipakai untuk istri-istri samurai yang melakukan bunuh diri.[6] Istilah jigai diperkenalkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lafcadio Hearn dalam bukunya yang berjudul Japan: An Attempt at Interpretation,[7][8] Joshua S. Mostow mencatat bahwa Hearn salah mengerti, disangkanya jigai adalah hanya dipakai untuk seppuku yang dilakukan oleh wanita.

Ikhtisar

Tindakan seppuku pertama kali dicatat dalam literatur setelah Minamoto no Yorimasa melakukan seppuku dalam Pertempuran Uji pada tahun 1180. Seppuku akhirnya menjadi bagian penting dari kode kehormatan samurai yang disebut bushido. Seppuku dulunya dilakukan oleh samurai untuk menghindar dari tangkapan musuh, serta untuk mengurangi rasa malu, dan menghindari dari kemungkinan penyiksaan. Samurai juga dapat melakukan seppuku berdasarkan perintah tuan tanah feodal yang disebut daimyo. Samurai yang telah membuat malu kadang-kadang diizinkan tuan mereka untuk melakukan seppuku sebagai alternatif dari hukuman mati. Bentuk seppuku yang paling umum dilakukan laki-laki adalah merobek perut, dan setelah samurai tersebut selesai merobek perutnya, ia menengadahkan kepala sebagai isyarat agar kepalanya segera dipancung oleh seorang rekan yang berada di belakangnya, dan bertugas sebagai pendamping samurai dalam ritual seppuku. Oleh karena maksud utama dari seppuku adalah pemulihan kehormatan seorang samurai, mereka yang bukan termasuk kelas samurai tidak pernah diperintahkan atau diharapkan untuk melaksanakan seppuku. Samurai juga umumnya melakukan tindakan seppuku hanya kalau diizinkan oleh tuannya.

Kadang-kadang seorang daimyo memerintahkan musuh yang telah kalah untuk melaksanakan seppuku sebagai dasar sebuah perjanjian damai. Kemampuan militer dari klan musuh yang melakukan seppuku akan berkurang sehingga perlawanan militer berakhir secara efektif. Toyotomi Hideyoshi memerintahkan musuhnya untuk melakukan bunuh diri dalam beberapa peristiwa. Salah satu peristiwa yang paling dramatis adalah ketika klan Hōjō dikalahkannya dalam Pertempuran Odawara tahun 1590. Hideyoshi memaksa daimyo Hōjō Ujimasa yang sudah pensiun untuk melakukan seppuku dan pengasingan putra Ujimasa yang bernama Hōjō Ujinao. Kekuasaan klan Hōjō yang dikenal sebagai keluarga daimyo paling berpengaruh di Jepang Timur, secara praktis berakhir setelah Ujimasa melakukan seppuku.

Festival Lumpur Di Korea

Festival ini diadakan setiap musim panas di pantai Boryeong, 200 kilometer selatan Seoul. Festival ini digelar mulai tahun 1998 dan menarik jutaan pengunjung datang ke tempat ini. Industri wisata memang tak cuma mengandalkan potensi sejarah dan alam tapi juga bisa diciptakan dengan menggelar festival yang menarik banyak wisatawan. Lumpur ini diangkut dengan truk dari dataran rendah Boryeong ke pantai. Lumpur itu dipercaya mengandung banyak mineral dan berkhasiat untuk kecantikan. Puncak acara bisanya digelar setiap pekan kedua bulan Juli.















Dari Berbagai Sumber.






Tongkonan

Tongkonan
Bayangkan bahwa rumah adat ini dibangun dengan konstruksi yang terbuat dari kayu tanpa menggunakan unsur logam sama sekali seperti paku. Anda akan lebih terkagum-kagum setelah mengetahui filosofi di balik rumah adat ini. Ada kepercayaan, kebanggaan, tradisi kuno, dan peradaban dari setiap detail rumah tongkonan yang dibangun masyarakat Toraja. Jadi tidak bisa sembarangan membangun rumah adat ini.
Inilah salah satu bentuk kearifan lokal yang mengagumkan dari sebuah rumah adat Nusantara. Tongkonan adalah rumah khas masyarakat Tana Toraja di Sulawesi Selatan. Hingga saat ini rumah unik tersebut bersama budaya Tana Toraja lainnya menjadi daya tarik wisata dan terus-menerus diminati pelancong.
Tongkonan adalah rumah adat dengan ciri rumah panggung dari kayu dimana kolong di bawah rumah biasanya dipakai sebagai kandang kerbau. Atapnya rumah tongkonan dilapisi ijuk hitam dan bentuknya melengkung persis seperti perahu telungkup dengan buritan. Ada juga yang mengatakan bentuknya seperti tanduk kerbau. Sekilas mirip bangunan rumah gadang  di  Minang atau Batak.


Semua rumah tongkonan yang berdiri berjejer akan mengarah ke utara. Arah tongkonan yang menghadap ke utara serta ujung atap yang runcing ke atas melambangkan leluhur mereka yang berasal dari utara. Ketika nanti meninggal mereka akan berkumpul bersama arwah leluhurnya di utara.
Berdasarkan penelitian arkeologis, orang Toraja berasal dari Yunan, Teluk Tongkin, Cina. Pendatang dari Cina ini kemudian berakulturasi dengan penduduk asli Sulawesi Selatan. Kata tana artinya negeri, sedangkan kata toraja berasal dua kata yaitu tau (orang)dan maraya (orang besar atau bangsawan). Kemudian penggabungan kata-kata tesebut bermakna tempat bermukimnya suku Toraja atau berikutnya dikenal sebagai Tana Toraja.
Tongkonan merupakan pusat kehidupan sosial suku Toraja karena ritual adat terkait tongkonan sangatlah penting dalam kehidupan spiritual mereka dengan leluhur. Oleh karena itu, semua anggota keluarga diharuskan ikut serta sebagai lambang hubungan mereka dengan leluhur.
Tongkonan berasal dari kata tongkon yang bermakna menduduki atau tempat duduk. Dikatakan sebagai tempat duduk karena dahulu menjadi tempat berkumpulnya bangsawan Toraja yang duduk dalam tongkonan untuk berdiskusi. Rumah adat ini mempunyai fungsi sosial dan budaya yang bertingkat-tingkat di masyarakat. Awalnya merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat, sekaligus perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Toraja.

Masyarakat Toraja menganggap rumah tongkonan sebagai ibu, sedangkan alang sura (lumbung padi) sebagai bapak. Tongkonan berfungsi untuk rumah tinggal, kegiatan sosial, upacara adat, serta membina kekerabatan. Bagian dalam rumah dibagi tiga bagian, yaitu bagian utara, tengah, dan selatan. Ruangan di bagian utara disebut tangalok yang berfungsi sebagai ruang tamu, tempat anak-anak tidur, serta tempat meletakkan sesaji. Ruangan sebelah selatan disebut sumbung, merupakan ruangan untuk kepala keluarga tetapi juga dianggap sebagai sumber penyakit. Ruangan bagian tengah disebut Sali yang berfungsi sebagai ruang makan, pertemuan keluarga, dapur, serta tempat meletakkan orang mati.

Ada nuansa unik dari rumah tongkonan yang luar biasa sekaligus sarat makna. Perhatikan seksama bagaimana tumbuhan hijau merajalela ada di atas atapnya justru memperindah tampilan rumah adat ini.
Mayat orang mati masyarakat Toraja tidak langsung dikuburkan tetapi disimpan di rumah tongkonan. Agar mayat tidak berbau dan membusuk maka dibalsem dengan ramuan tradisional yang terbuat dari daun sirih dan getah pisang. Sebelum upacara penguburan, mayat tersebut dianggap sebagai ‘orang sakit‘ dan akan disimpan dalam peti khusus. Peti mati tradisional Toraja disebut erong yang berbentuk kerbau (laki-laki) dan babi (perempuan). Sementara untuk bangsawan berbentuk rumah adat. Sebelum upacara penguburan, mayat juga terlebih dulu disimpan di alang sura (lumbung padi) selama 3 hari.
Lumbung padi tersebut tiang-tiangnya dibuat dari batang pohon palem (bangah) yang licin, sehingga tikus tidak dapat naik ke dalam lumbung. Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari  yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.
Ukiran khas Toraja bermakna hubungan masyarakat Toraja dengan pencipta-Nya, dengan sesama manusia (lolo tau), ternak (lolo patuon), dan tanaman (lolo tananan). Ukiran tersebut digunakan sebagai dekorasi eksterior maupun interior rumah mereka.

Saat Anda melihat rumah adat ini, ada ciri lain yang menonjol yaitu kepala kerbau menempel di depan rumah dan tanduk-tanduk kerbau pada tiang utama di depan setiap rumah. Jumlah tanduk kepala kerbau tersebut berbaris dari atas ke bawah dan menunjukan tingginya derajat keluarga yang mendiami rumah tersebut. Di sisi kiri rumah yang menghadap ke arah barat dipasang rahang kerbau yang pernah di sembelih. Di sisi kanan yang menghadap ke arah timur dipasang rahang babi.Ornamen tanduk kerbau di depan tongkonan melambangkan kemampuan ekonomi sang pemilik rumah saat upacara penguburan anggota keluarganya. Setiap upacara adat di Toraja seperti pemakaman akan mengorbankan kerbau dalam jumlah yang banyak. Tanduk kerbau kemudian dipasang pada tongkonan milik keluarga bersangkutan. Semakin banyak tanduk yang terpasang di depan tongkonan maka semakin tinggi pula status sosial keluarga pemilik rumah tongkonan tersebut.Ornamen rumah tongkonan berupa tanduk kerbau serta empat warna dasar yaitu: hitam, merah, kuning, dan putih yang mewakili kepercayaan asli Toraja (Aluk To Dolo). Tiap warna yang digunakan melambangkan hal-hal yang berbeda. Warna hitammelambangkan kematian dan kegelapan. Kuning adalah simbol anugerah dan kekuasaan ilahi. Merah adalah warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Dan, putih adalah warna daging dan tulang yang artinya suci.



Ada beberapa jenis rumah adat togkonan, antara lain  tongkonan layuk (pesio’aluk),  yaitu tempat menyusun aturan-aturan sosial keagamaan. Tongkonan pekaindoran (pekamberan atau kaparengngesan), yaitu berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat. Ada juga batu a’riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang yang mengatur dan membina persatuan keluarga serta membina warisan.
Tongkonan milik bangsawan Toraja berbeda dengan dari orang umumnya. Yaitu pada bagian dinding, jendela, dan kolom, dihiasi motif ukiran yang halus, detail, dan beragam. Ada ukiran bergambar ayam, babi, dan kerbau, serta diselang-seling sulur mirip batang tanaman.
Menurut cerita masyarakat setempat bahwa tongkonan pertama itu dibangun oleh Puang Matua atau sang pencipta di surga.Dulu hanya bangsawan yang berhak membangun tongkonan. Selain itu, rumah adat tongkonan tidak dapat dimiliki secara individu tapi diwariskan secara turun-temurun oleh marga suku Toraja.

Rumah tongkonan rata-rata dibangun selama tiga bulan dengan sepuluh pekerja. Kemudian ditambah proses mengecat dan dekorasi satu bulan berikutnya. Setiap bagian tongkonan melambangkan adat dan tradisi masyarakat Toraja.
Rumah adat tongkonan akan terus dibangun dan didekorasi ulang oleh masyarakat Toraja. Hal itu bukan karena alasan perbaikan tetapi lebih untuk menjaga gengsi dan pengaruh dari kaum bangsawan. Pembangunan kembali rumah tongkonan akan disertai upacara rumit yang melibatkan seluruh warga dan tidak jauh berbeda dengan upacara pemakaman.Anda dapat menemukan rumah mengagumkan ini di Rantepao, Toraja Utara, tepatnya di Kete Kesu dan di Lemo. Untuk menuju Rantepao maka arahkan tujuan pertama ke Maskassar lalu naiklah bus tujuan Rantepao seperti Litha dan Bintang Timur. Tiketnya seharga Rp80.000,00 hingga Rp100.000,00 per orang.

Artikel tentang Kebudayaan



Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.

“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.”

Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.



Budaya yang Hilang



Lagu Rasa Sayang-sayange diklaim oleh Pemerintah Malaysia

Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu “Rasa Sayange” adalah milik Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2].

Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. ‘Rasa Sayange1′ diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. [3] Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia [4]. Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, maksudnya warisan milik bersama bangsa Melayu, antara Indonesia dan Malaysia[5].
Tentang bukti rekaman “Rasa Sayange”, bukti lagu tersebut direkam oleh PT Lokananta, Solo, Indonesia pada tanggal 1962 dalam piringan hitam Gramophone [6]. Rekaman master dari piringan ini masih disimpan oleh PT Lokananta. Ini dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4 tahun 1962 di Jakarta, dan lagu “Rasa Sayange” adalah salah satu lagu rakyat Indonesia di piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak Bergembira, O Ina ni Keke, dan Sengko Dainang.

Desain Grafis Perak Asli Bali

Rasa terambilnya desain garafis perak asli Bali ini muncul ketika seorang warga bali yang menjaul hasil karyanya ke konsumen luar negeri. Namun tanpa diketahui konsumentersebut malah mematenkan hasil karya tersebut sebagai desain dari luar negeri, sehingga ketika warga Bali ini hendak mengekspor hasil karyanya ternyata dia harus beurusan dengan WTO karena dianggap telah melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Sesungguhnya desain tersebut telah dimiliki dan merupakan warisan dari leluhur masyarakat Bali itu sendiri. Namun ada juga kejadian perebutan hak paten yang terjadi di dalam negeri ini sendiri yang dimana kedua belah pihak telah mematenkan hak ciptanya. Namun salah satu pihak menganggap bahwa karya lainnya merupakan plagiat dari hasil karya yang telah mereka buat.

Tari Reog Ponorogo dengan Tari Barongan Malaysia

Dikisahkan di dalam Asal Usul Reog Ponorogo telah terjadi pertempuran antara Raja Ponorogo dengan Singa Barong penjaga hutan Lodoyo. Pujangga Anom nama raja itu telah membangunkan dan membuat marah singa tersebut, karena mencuri 150 anak macan dari hutan Lodoyo. Anak-anak macan itu rencananya akan dia gunakan sebagai mas kawin pernikahannya dengan seorang puteri dari Raja Kadiri. Pertempuran antara Pujangga Anom dan singa penjaga hutan Lodoyo kemudian tak terelakkan. Kisah itu lalu menjadi legenda pada rakyat Ponorogo dan sekitarnya tentang keberanian dan ketabahan orang-orang Ponorogo dan diwujudkan dalam bentuk tarian Reog.
Dalam tarian Reog para penari bukan saja menampilkan gerakan-gerakan badan yang mempesona namun juga menyertakan suasana magis. Para penari dipercaya berada dalam keadaaan kesurupan meskipun yang sesungguhnya terjadi mereka mendahului tarian Reog dengan ritual puasa dan semedi. Adegan ketika seorang penari memanggul topeng besar berupa kepala singa yang di atasnya dihiasai dengan bulu merak adalah salah satu contoh kuatnya aroma magis tersebut.
Barongan Malaysia tidak seperti itu dan itulah yang membedakan tarian itu dengan Reog dari Ponorogo. Mungkin tema tariannya agak mirip meskipun harus dikatakan antara keduanya terdapat perberbedaan yang jauh. Namun andai pun dianggap mirip, hal itu hanya terletak pada temanya yang mengusung tema singa atau macan. Tema semacam itu juga bisa dijumpai dalam tarian Sisingaan dari Kuningan Jawa Barat dan Barongsai tarian khas Cina. Dan jika dilihat dari filosofinya, Barongan Malaysia cenderung bernuansa keagaamaan (penyebaran Islam) sementara filosofi Reog adalah keberanian dan ketabahan.
Tempe yang diklaim oleh WN Jepang

Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.

Makanan Daerah yang tergantikan oleh makanan dari Luar Negeri

Sekarang ini banyak sekali makanan daerah yang tergantikan terutama didaerah pariwisata. Sebenarnya tidak ada kerugian yang akan dialami oleh negara, namun jika dilaihat dari segi lain maka akan merugikan karena para penerus bangsa mendatang mungkin tidak akan tahu apa makanan daerah yang mereka miliki. Penyebab utamanya yaitu danya investor asing yang ingin memajukan perekonomian daerah pariwisata dengan membangun restoran cepat saji ataupun sejenis kedai junkfood. Masyarakat sekarang ini khususnya anak – anak muda, berpikir makanan daerah sudah ketinggalan jaman sehingga mereka berusaha untuk mengikuti tren yang ada. Semua itu tak lain juga akibat dari globalisasi apalagi sarana dan prasarana telah memadai bahkan terpenuhi.


SUMBER

Budaya Tradisional Indonesia




Pengertian
Kebudayaan adalah kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat & kemampuan lain serta kebiasaan yang didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat. Kebudayaan dikaji asal kata bahasa sansekerta berasal dari kata budhayah yang berarti budi atau akal. Dalam bahasa latin, kebudayaan berasal dari kata Colere, yang berarti mengolah tanah. Jadi kebudayaan secara umum dapat diartikan sebagai “segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal budi (pikiran) manusia dengan tujuan untuk mengolah tanah atau tempat tinggalnya, atau dapat pula diartikan segala usaha manusia untuk dapat melangsungkan dan mempertahankan hidupnya didalam lingkungannya”. Budaya dapat pula diartikan sebagai himpunan pengalaman yang dipelajari, mengacu pada pola-pola perilaku yang ditularkan secara sosial tertentu.

Dalam kehidupan sehari-hari, kita mengartikan kebudayaan sebagai peninggalan sejarah yang bersifat tradisional. Seperti tarian daerah, alat musik daerah, senjata tradisional, bahasa daerah, dan lain sebagainya. Di negara kita, hampir setiap propinsi memilki kebudayaan tradisionalnya sendiri. Oleh sebab itu negara kita dijuluki negara yang kaya akan budaya.

Jenis-jenis Budaya Tradisional
Ada berbagai jenis budaya tradisional yang dimiliki oleh negara kita. Beberapa jenis budaya tradisional tersebut yaitu :
Tarian Tradisional : tarian khas yang memiliki arti penting karena fungsinya yang sangat     mengutamakan suatu penghormatan.
Bahasa Tradisional : bahasa daerah yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari oleh    setiap daerah .
Pakaian Tradisional : pakaian khas yang berbeda dari daerah satu dengan daerah lain.
Senjata Tradisional : suatu senjata yang digunakan oleh penduduk suatu daerah. Orang jaman dulu sering menyebutnya gaman.
Alat Musik Tradisional  : alat musik yang digunakan untuk mengiringi suatu lagu daerah atau biayasanya juga digunakan untuk mengiringi tarian tradisional.
Kesenian Tradisional : sutu kesenian yang berasal dari suatu daerah tertentu dan menunjukkan ciri khas.

Penyebab Budaya Tradisional Hilang
Budaya nasional yang seharusnya menjadi kebanggaan dan harusnya di pertahankan sekarang mulai hilang dikarenakan masuknya budaya asing (modern). Kita sebagai warga negara indonesia yang mempunyai hak penuh atas kebudayaan tersebut seharusnya melestarikannya bukan malah mengesampingkannya dengan berbagai alasan seperti  takut dibilang ketinggalan jaman, takut dibilang kupper, katrok, dan lain sebagainya.
Jika ditinjau melalui aspek global, globalisasi menjadi tantangan untuk semua aspek kehidupan juga yang terkait dengan kebudayaan. Budaya tradisional yang mencerminkan etos kerja yang kurang baik tidak akan mampu bertahan dalam era global. Era global menuntut kesiapan kita untuk siap berubah menyesuaikan perubahan zaman dan mampu mengambil setiap kesempatan. Budaya tradisional di Indonesia sebenarnya lebih kreatif dan tidak bersifat meniru, yang menjadi masalah adalah mempertahankan jati diri bangsa. Sebagai contoh sederhana, budaya gotong royong di Indonesia saat ini hampir terkikis habis, individual dan tidak mau tahu dengan orang lain adalah cerminan yang tampak saat ini. Perlu dipikirkan agar kebudayaan kita tetap dapat mencerminkan kepribadian \bangsa. Kebudayaan tradisional adalah sebuah warisan luhur.
Dalam era globalisasi, kebudayaan tradisional mulai mengalami erosi. Orang, anak muda utamanya lebih senang menghabiskan waktunya untuk mengakses internet dari pada mempelajari tarian dari kebudayaan sendiri. Orang akan merasa bangga ketika dapat menuru gaya berpakaian orang barat dan menganggap budayanya kuno dan ketinggalan. Globalisasi akan selalu memberikan perubahan, kita lah yang harus meneliti apakah budaya-budaya tersebut bersifat positif ataupun negatife.

Cara-cara Untuk Menjaga Kelestarian Budaya Tradisional
Budaya yang dahulu tak ternilai harganya, kini justru menjadi budaya yang tak bernilai di mata masyarakat. Sikap yang tak menghargai itu memberikan dampak yang cukup buruk bagi perkembangan budaya tradisional di negara kita. Mengapa? Karena salah satu cara untuk melestarikan budaya trsdisional adalah sikap dan perilaku dari masyarakatnya sendiri. Jika dalam diri setiap masyarakat terdapat jiwa nasionalis yang dominan, melestarikan budaya tradisional merupakan suatu kebanggaan, tapi generasi muda sekarang ini justru beranggapan yang sebaliknya, sehingga mereka menggagap melestarikan budaya itu suatu paksaan. Jadi kelestarian buadaya tradisional itu juga sangat bergantung pada jiwa nasionais generasi mudanya.
Sebagai para generasi muda penerus bangsa, jiwa dan sikap nasionalis sangatlah diperlukan. Bukan hanya untuk kepentingan politik saja kita dituntut untuk berjiwa nasionalis, tetapi dalam mempertahankan dan melestarikan budayapun juga demikian. Kita butuh untuk menyadari bahwa untuk mempertahankan budaya peninggalan sejarah itu tidak mudah. Butuh pengorbanan yang besar pula. Oleh karenanya tak cukup apabila hanya ada satu generasi muda yang mau untuk tapi yang lain masa bodoh. Dalam melakukannya dibutuhkan kebersamaan untuk saling mendukung dan mengisi satu sama lain. Dalam kata lain dalam menjaga kelestarian budaya juga diperlukan kekompakan untuk saling mengisi dan mendukung.

Kesimpulan
Kemudian kebudayaan yang telah ada seperti kebudayaan tradisional akan tergeser bahkan akan hilang terganti oleh kebudayaan baru/ modern. Orang-orang akan lebih mengandalkan kebudayaan baru dan meninggalkan kebudayaan tradisional karena dianggap kebudayaan itu adalah kebudayaan yang kuno dan pantas di tinggalkan.
Jadi keberadaan kebudayaan tradisional saat ini sangat mengkhawirkan. Kita sebagai penerus bangsa harus dapat melestarikan budaya sendiri, budaya tradisional. Jangan sampai budaya itu punah tertelan waktu yang ke era globalisasi.

Suku Sasak Lombok



Lombok adalah sebuah pulau di Provinsi Nusa Tenggara Barat. Pulau ini terletak di sebelah timur Pulau Bali yang dipisahkan oleh Selat Lombok dan di sebelah barat Pulau Sumbawa yang dipisahkan oleh Selat Atas. Luas wilayah pulau Lombok adalah sekitar 5435 km2 merupakan pulau terbesar ke 108 di dunia. Pulau ini juga terdiri dari 5 kota dan kabupaten yakni Kota Mataram, Kabupaten Lombok Barat, Kabupaten Lombok Tengah, Kabupaten Lombok Timur, dan Kabupaten Lombok Utara. Pulau Lombok didiami kurang lebih sekitar 3 juta jiwa yang 80% nya merupakan penduduk asli pulau lombok yaitu Suku Sasak.

Suku Sasak dikenal sebagai etnis terbesar yang mendiami Pulau Lombok. Suku ini adalah etnis asli yang telah mendiami Pulau Lombok selama berabad-abad. Ada pendapat yang mengatakan bahwa masyarakat Suku Sasak berasal dari campuran penduduk asli Lombok dengan pendatang dari Jawa tengah yang dikenal dengan julukan Mataram. Konon, pada masa pemerintahan Raja Rakai Pikatan, banyak pendatang dari Jawa Tengah ke Pulau Lombok kemudian banyak juga diantaranya yang melakukan pernikahan dengan warga setempat sehingga menjadi masyarakat suku sasak. Akan tetapi, menurut sejarah pada abad ke-16 Pulau Lombok berada dalam kekuasaan Kerajaan Majapahit. Hal ini terbukti dengan diutusnya Maha Patih Gajah Mada untuk datang ke Pulau Lombok.

Di akhir abad ke 16 hingga abad ke 17 awal, banyak para pendatang dari Jawa yang masuk ke Pulau Lombok sambil menyebarkan pengaruh Islam. Salah satunya adalah dakwah yang dilakukan oleh Sunan Giri pada masa itu. Setelah masuknya dakwah Islam pada masa ini, agama Suku Sasak berubah dari agama Hindu menjadi agama Islam. Dan pada abad ke 18 Lombok diserang dan ditaklukan oleh pasuakan gabungan kerajaan karang asem dari bali. Akibat dari pendudukan kerajaan karangasem dari Bali yang menguasai lombok bagian barat memunculkan kultur atau corak budaya khas Bali di Lombok. Berdasarkan runutan sejarah tersebut Suku Sasak bisa saja diidentifikasi merupakan akulturasi dari beberapa kebudayaan yaitu pengaruh Islam, Hindu, Budaya Jawa dan Bali. Walaupun begitu kebudayaan Suku Sasak memiliki corak kebudayaan asli yang mapan dan berbeda dari budaya suku-suku lain.

Nama suku sasak berasal dari kata sak-sak (dalam bahasa sasak) yang berarti sampan. Hal ini karena nenek moyang orang Lombok dahulu menggunakan sampan untuk mengitari Pulau Lombok dari arah barat menuju ke arah timur atau sekarang dikenal dengan Pelabuhan Lombok menggunakan sampan. Sumber lain yang menyebutkan makna kata sasak dari aspek filosofisnya adalah kitab Negara kertagama yang merupakan kitab yang memuat catatan kekuasaan Kerajaan Majapahit yang digubah oleh Mpu Prapanca. Dalam kitab ini disebutkan bahwa kata sasak berasal dari tradisi lisan masyarakat setempat yaitu lombok sasak mirah adi. Dalam tradisi lisan masyarakat setempat kata sasak berasal dari kata sa-saq yang berarti satu atau kenyataan dan lombok berasal dari kata lomboq (bahasa kawi) yang berarti lurus atau jujur sedangkan  mirah berarti permata dan adi artinya baik atau yang baik. Maka lombok mirah sasak adi  berarti kejujuran adalah permata kenyataan yang baik atau utama.

Masyarakat Suku Sasak merupakan masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan mempertahankan kebudayaan sampai saat ini. Kini, Suku Sasak bukan hanya sebuah kelompok masyarakat tapi juga merupakan salah satu etnis yang melambangkan kekayaan tradisi yang dimiliki oleh Indonesia.

‘Nipung Ka Halu’ Dikerjakan Ratusan Wanita

‘Nipung Ka Halu’ Dikerjakan Ratusan Wanita



TRADISI LANGKA : Puluhan wanita warga Kampung Adat Ciptagelar saat menumbuk padi dalam lesung.
Tak hanya tradisi seren taun yang ada di Kasepuhan Adat Ciptagelar Desa Sirnaresmi Kecamatan Cisolok. Di sana, justru banyak tradisi adat yang tidak banyak diketahui oleh orang. Kasepuhan Ciptagelar ini, adalah salah satu kasepuhan yang mempertahankan kebuasaan leluhurnya. Bukan hanya di bidang pertanian, masalah kejujuran, rehab rumah pun diatur dalam tradisi adat Banten Kidul ini. Kemarin, ada tradisi yang menarik perhatian saat Reporter Radar Sukabumi berkunjung yang kesekian kalinya ke Kampung Adat itu. Yakni, pembuatan tipung dengan cara tradisional bari ngadongdang.
PERLI RIZAL, PALABUHANRATU,-
BENAR-Benar unik dan tradisional. Kegiatan ‘nipung ka halu’ sangat membudaya di sana. Kegiatan membuat tepung beras menggunakan halu dengan cara menumbuknya ramai-ramai itu adalah salah satu tradisi yang dipertahankan warga adat Banten Kidul.
Mereka ramai-ramai membuat tepung beras menggunakan halu, sejenis tongkat kayu yang panjangnya bisa sampai 1,5 sampai dua meter. Sedikitnya ada 100 orang setiap kali membuat tepung. Biasanya, pembuatan tepung itu dalam rangka menghadapi acara.
Seperti Seren taun (syukuran hasil panen), pertengahan bulan atau tepatnya di tanggal 14an menurut kalender Sunda. Itu adalah kegiatan rutin yang dilakukan setiap bulan purnama tiba.
Nipung ka halu inilah salah satu proses pembuatan kue dengan cara tradisional. Merubah padi hingga menjadi tepung itu sama sekali tidak memakai unsur mesin. Semuanya mulai dari padi menjadi beras dan beras menjadi tepung menggunakan proses nipung ka halu. Mulai wanita remaja hingga orang tua berkumpul disana.
Tak ada koordinator atau instruktur. Mereka sudah mengerti sendiri setiap pertengahan bulan selalu membuat tepung ramai-ramai. “Masyarakat tos pada ngartos, kabiasaan ieu tos puluhan taun. mungkin ratusan tahun meuren. (Kita sudah mengerti dan sadar sendiri. Kebiasaan ini sudah puluhan tahun. Atau ratusan tahun kali. Jadi sudah terbiasa,” jelas salah satu pembuat tepung, Nurmah (60).
Uniknya, mereka juga mengerti seni. Pembuatan tepung itu sekali-kali menggunakan nada ‘dondang dogdang, dongdang dang dong jer’ suara tumbukan halu diarahkan kepada tepung dan kayu. Mereka juga sambil mengobrol, rupa-rupa yang dibicarakan, mulai soal keluarga hingga soal acara adat. Tepungnya pun dibuat macamm-macam. Mulai dijadikan dodol hingga-kue-kue lain yang disajikan untuk tamu undangan.
Nah, disinilah kelebihan warga kampung adat itu. Meski secara finansial mereka terlihat ‘tak berduit’. Namun, mereka terlihat nyaman dengan kondisi yang mereka tengah dialami. Mereka akrab satu sama lainnya. Kompak dalam gotong-royong. Apalagi sudah ada perintah dari sang kasepuhan yakni Abah Ugi Sugriana R (23). Abah Ugi merupakan pimpinan kasepuhan termuda di antara banyak kasepuhan lainnya seperti Cisungsang, Sirnaresmi atau Ciptamulya . Ia mendapatkan wangsit dari ayahnya, Abah Ucup alias Abah Anom untuk menggantikannya setelah ayahnya meninggal tiga tahun silam.

Omed Omedan atau Tradisi Ciuman Di Depan Publik



Omed-Omedan atau bahasa indonesia nya adalah cium-ciuman(tarik-menarik), sebuah tradisi di Pulau Dewata, Bali.

omed-omedan, dari arti bahasa Indonesia nya memang banyak yang penasaran sekaligus membayangkannya.Omed-omedan atau juga disebut Med-medan adalah acara ciuman massal yang rutin digelar oleh warga Banjar Kaja, Desa Sesetan, Denpasar Selatan, pada setiap setiap tanggal 1 tahun Caka, atau sehari setelah Hari Nyepi. Menurut cerita masyarakat setempat, acara ini sudah diwariskan sejak tahun 1900-an.

Omed-omedan melibatkan sekaa teruna-teruni atau pemuda-pemudi umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa namun belum menikah. Dalam bahasa Bali, Med-medan sama dengan paid-paidan, berarti saling tarik menarik. Jadi med-medan adalah ritual saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dengan kelompok pemudi untuk memohon keselamatan seluruh warga desa.

Prosesi med-medan dimulai dengan persembahyangan bersama untuk mohon keselamatan. Usai sembahyang, peserta dibagi menjadi dua kelompok, laki-laki dan perempuan. Kemudian kedua kelompok tersebut mengambil posisi saling berhadapan di jalan utama desa. Setelah seorang sesepuh desa memberikan aba-aba, kedua kelompok saling mendekat. Begitu bertemu, peserta terdepan saling tarik menarik lalu berciuman disaksikan ribuan penonton. Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian sehingga semua peserta kebagian berciuman.

Tidak semua masyarakat Bali, bahkan masyarakat Sesetan Kaja sendiri, menyukai tradisi ini. Pernah pada 1970-an para sesepuh banjar memutuskan agar acara ini ditiadakan. Namun, tak lama berselang, di pelataran Pura terjadi perkelahian yang amat seru dua ekor babi, dan keduanya menghilang begitu saja di tengah perkelahian. Oleh warga, peristiwa itu dianggap sebagai pertanda buruk. Maka, med-medan pun kembali dilangsungkan.

Jauh sebelum itu, ada kisah menarik mengenai med-medan. Saat itu, begitu Hari Nyepi usai, masyarakat Puri Oka, sebuah kerajaan kecil di Denpasar selatan, menggelar permainan med-medan alias saling tarik-menarik antara kelompok pemuda dan pemudi. Saking serunya, acara tarik-menarik itu berubah menjadi acara saling merangkul dan situasi berubah gaduh karenanya. Raja yang saat itu sedang sakit pun marah besar.Dengan terhuyung-huyung beliau keluar hendak menghardik warganya. Namun, begitu melihat adegan itu, tiba-tiba sakit Sang Raja mendadak sirna dan ia pun sehat seperti sediakala. Raja lalu mengeluarkan titah agar med-medan dilaksanakan tiap tahun saat ngembak geni (menyalakan api pertama)sehari setelah Hari Raya Nyepi.

Begitu diselenggarakan lagi, giliran Pemerintah Kolonial Belanda yang terusik melihat upacara itu. Belanda melarang ritual itu, namun warga yang taat tidak menghiraukan larangan itu. Acara ciuman massal itu pun berlangsung hingga sekarang.

Tapi jangan berfikir semudah itu untuk bisa mendaratkan ciuman kamu pada sang gadis, karena dalam acara itu selain tarik menarik juga ada acara siram-siraman, sekali kesempatan dan gagal, maka kamu akan di siram beramai-ramai.