Latest Updates
Showing posts with label KISAH HIKMAH. Show all posts
Showing posts with label KISAH HIKMAH. Show all posts

Kisah Nyata: Tidak Jadi Bunuh Diri Gara Gara Sms

Kisah Nyata: Tidak Jadi Bunuh Diri Gara Gara Sms

Laki-laki itu gundah. Ia seperti kehilangan akal. Masalahnya terasa semakin berat, sementara semua jalan tampak buntu. Dalam kegalauannya yang memuncak, ia menyiapkan beberapa perlengkapan. Perlengkapan untuk lari dari semua masalahnya. Ia ingin bunuh diri.

Tiba-tiba, sebuah SMS datang tepat pada detik-detik terakhir ia ingin bunuh diri.

“Apa kabar mas? Lama tak jumpa. Kangen” demikian SMS itu.

Aneh, membaca SMS itu, keinginannya untuk bunuh diri tiba-tiba berkurang. Bahkan akhirnya ia sadar bahwa apa yang akan dilakukannya itu adalah sebuah kesalahan fatal.

Setelah membaca SMS itu, ia pun segera menelepon sang pengirim SMS. “Mas, hampir saja saya bunuh diri,” katanya sambil menangis, “Semua perlengkapan bunuh diri sudah saya siapkan. Gara-gara SMS dari mas Jamil, saya urungkan niat itu. Ternyata masih ada yang perhatian dan kangen sama saya.”

“Lelaki itu kini sudah berkeluarga,” kata Jamil Azzaini, sang pengirim SMS itu, yang tak lain adalah inspirator Sukses Mulia, “Bisnisnya juga terus tumbuh. Ia juga punya kebiasaan baru, berbagi ilmu kepada siapapun yang membutuhkan. Ia juga merasa happy menjalaninya. Banyak orang yang sudah terinspirasi melalui lelaki ini. Ternyata, satu kebaikan berbuah banyak kebaikan.”

“Jangan sepelekan kebaikan, walau mungkin tampak kecil,” pesan jamil Azzaini.

Jauh sebelumnya, 14 abad yang lalu, Rasulullah telah berpesan, “Janganlah meremehkan kebaikan sedikit pun walau hanya berbicara kepada saudaramu dengan wajah yang tersenyum kepadanya.” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi; shahih)

Senyum kepada orang lain, mungkin dianggap sebagai amalan sepele. Hanya membutuhkan gerakan 16 otot. Tetapi mungkin kita tidak sadar, senyuman itu menular. Menularkan kebahagiaan, menularkan keceriaan, menyejukkan hati, dan mengakrabkan. Jika jiwa sudah bahagia, jika hati sudah damai, kreatifitas lebih mudah terlahirkan. Solusi-solusi atas masalah yang dihadapi pun berdatangan. Bahkan, sebelum datang solusi, terlebih dulu datang paradigma baru dalam memandang persoalan. Menjadi sabar, menjadi lebih arif, menjadi lebih bijaksana.

Dalam hadits lain, Rasulullah mensabdakan, “Bersedekahlah walau hanya dengan sebutir kurma.” Mungkin sebutir kurma kita anggap sepele, tetapi sesungguhnya pemberian itu adalah pancaran kebaikan. Aura kasih sayang. Inilah yang menimbulkan kecintaan dan kebahagiaan. Seperti pesan beliau, “Saling memberi hadiah-lah, niscaya kalian saling mencintai.”

Rasulullah juga mengingatkan umatnya untuk mengucap salam kepada sesama muslim, baik yang ia kenal maupun tidak ia kenal. Sebab salam adalah doa, salam juga ekspresi empati dan cinta. Salam dan sapa mengakrabkan. Amalan yang ringan, tetapi bisa jadi karena salam dan sapa kita, seseorang merasa mendapatkan perhatian. Merasa dirinya berharga. Merasa dirinya bernilai dan dibutuhkan. Bahkan bisa jadi, seseorang yang tadinya merasa putus asa kembali mendapatkan secercah harapan. Bahkan seperti temannya Jamil Azzaini tersebut, ia yang tadinya berniat bunuh diri akhirnya mengurungkan niatnya, dan berubah menjadi pribadi yang menemukan kembali semangat hidup dan kemudian bermanfaat bagi sesama. Bukankah pahalanya luar biasa?

SUMBER

Kisah Rasulullah dan Anak Yatim di Hari Raya Idul Fitri

Kisah Rasulullah dan Anak Yatim di Hari Raya Idul Fitri


Hari itu hari raya Idul Fitri. Semua penduduk Madinah bergembira. Anak-anak bersuka cita. Berlari ke sana kemari dan bermain dengan tawa mengiringi. Namun, tidak demikian dengan seorang anak perempuan di sudut jalan. Ia tampak bersedih, dengan pakaian lusuh, sepatu usang dan rambut acak-acakan.

Melihat pemandangan yang menyayat hati itu, Rasulullah bergegas menghampirinya. Tapi gadis kecil itu justru menangis dan menutup wajahnya dengan tangan.

“Anakku, mengapa engkau menangis? Hari ini hari raya bukan?” kata Rasulullah sambil mengusap kepala bocah itu.

Ia masih menangis, tapi pelan-pelan tangisnya mereda. Ia belum berani melihat siapa orang yang menghampirinya. Ia bercerita sambil menundukkan kepalanya.

“Iya, ini hari raya. Semua anak ingin merayakannya bersama orang tua. Bergembira bersama, bahagia bersama. Aku teringat ayahku yang telah tiada. Di hari raya terakhir bersamanya, ia memberikan baju dan sepatu baru kepadaku. Namun setelah itu ia berperang bersama Rasulullah lalu syahid. Sekarang aku anak yatim. Tidak bolehkah jika aku menangis?” kata anak itu mengundang iba Rasulullah. Beliau merasakan betul kesedihan anak yatim itu.

“Nak, hapuslah air matamu,” kata beliau sambil mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, “Angkatlah kepalamu dan dengarkan apa yang akan kukatakan kepadamu… Apakah engkau mau aku menjadi ayahmu? Apakah engkau mau Fatimah menjadi kakakmu…. dan Aisyah menjadi ibumu…. Bagaimana pendapatmu tentang usul dariku ini?”

Mendengar itu, anak yatim tersebut berhenti menangis. Ia mengangkat kepalanya dan melihat bahwa orang di depannya adalah Rasulullah. Ya, itu Rasulullah. Masya Allah… ia tak bisa berkata apa-apa kecuali hanya menganggukkan kepalanya.

Ia kemudian menggandeng tangan Rasulullah dengan penuh kebahagiaan. Kini ia merasa tak yatim lagi. Bahkan ia kini memiliki ayah terbaik di muka bumi.

“Akhirnya aku memiliki seorang ayah,” kata gadis kecil itu. Saat ditanya teman-temannya mengapa ia terlihat sangat bahagia, jauh berbeda denga hari-hari sebelumnya. Dengan bangga ia menjawab, “Bagaimana mungkin aku tidak bahagia. Aku kini tidak yatim lagi. Dan siapa yang tidak bahagia memiliki Rasulullah sebagai ayahnya, mendapati Aisyah sebagai ibunya, dan punya Fatimah sebagai kakaknya?”

Demikianlah Rasulullah mengajarkan kepada umatnya untuk berbagi kebahagiaan. Demikianlah Rasulullah mengajarkan umatnya untuk mengasihi anak yatim. Demikianlah Rasulullah mengajarkan untuk menyayangi anak-anak pejuang fi sabilillah.

Islam bukan agama untuk dinikmati secara pribadi. Islam bukanlah agama yang menghimpun kebahagiaan hanya untuk diri sendiri. Islam adalah agama yang membawa kedamaian hati sekaligus mengatur kehidupan agar damai di dunia dan di akhirat nanti. Islam bukan hanya memberikan ketenangan bagi jiwa, tetapi juga menghadirkan solusi bagi umatnya dan bahkan seluruh manusia. Islam bukan agama individualis, tetapi agama yang rahmatan lil ‘alamin.

SUMBER

Kisah Bakti Anak Sholeh Mengundang Perhatian Penduduk Langit

Kisah Bakti Anak Sholeh Mengundang Perhatian Penduduk Langit
Click Here!
 


Pada zaman Nabi Muhammad saw, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, bidang dadanya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan, kulitnya kemerah-merahan, wajahnya selalu melihat pada tempat sujudnya dan tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya. Pemuda ini tidak pernah lalai dari membaca al-Quran dan sentiasa menangis. Pakaiannya hanya dua helai sahaja, sudah terlalu lusuh untuk dipakai sehinggakan tidak ada orang yang menghiraukannya. Beliau tidak dikenal oleh penduduk bumi akan tetapi sangat terkenal di langit. Pemuda ini, jika bersumpah demi Allah pasti terkabul. Dia adalah Uwais al-Qarni. Beliau tidak dikenali dan miskin malah banyak orang yang suka mentertawakannya, mengejek-ejeknya, dan menuduhnya sebagai pencuris erta bermacam lagi penghinaan dilemparkan kepadanya.Pemuda dari Yaman ini telah lama menjadi yatim, tidak mempunyai saudara mara kecuali hanya ibunya yang telah tua dan lumpuh. Untuk menyara kehidupan sehari-hari, Uwais bekerja sebagai penggembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup untuk menyara kehidupan harian bersama ibunya.Jika ada wang lebihan, beliau akan membantu jiran tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan seperti keadaannya. Walaupun dalam keadaan serba payah, beliau tidak pernah lalai dalam mengerjakan ibadahnya, sedikit pun tidak berkurang. Sepanjang hidupnya, beliau melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya. Uwais al-Qarni telah memeluk Islam pada masa negeri Yaman mendengar seruan Nabi Muhammad saw yang telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalam agama Islam sangat menarik hati Uwais dan apabila seruan Islam datang di negeri Yaman, beliau segera memeluknya Banyak rakan-rakannya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengar secara langsung dakwah Nabi Muhammad saw.

Click Here! Hati Uwais juga meronta-ronta untuk ke Madinah bertemu kekasih Allah, penghulu para Nabi tetapi beliau tidak mampu kerana tidak mempunyai bekalan yang cukup untuk sampai kesana. Apatah lagi beliau perlu menjaga ibunya. Jika beliau pergi, siapa pula yang akan melihat ibunya.Dikisahkan ketika terjadi perang Uhud, Rasulullah saw mengalami kecederaan dan giginya patah kerana dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Berita ini akhirnya sampai kepada Uwais. Lalu ia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada baginda saw, sekalipun beliau belum pernah melihat Rasulullah saw. Hari berganti hari dan musim pun berlalu, kerinduannya terhadap Rasulullah tak dapat dibendung lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, bilakah agaknya baru dirinya dapat menziarahi Nabi saw dan memandang wajah beliau dari dekat? Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya, mengeluarkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan pergi menziarahi Nabi saw di Madinah. Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau memahami perasaan Uwais, dan berkata,Pergilah wahai anakku! Temuilah Nabi dirumahnya. Dan bila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang.
Dengan perasaan gembira yang amat sangat, Uwais berkemas untuk berangkat dan sebelum pergi, beliau menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada jiran tetangganya agar dapat menemani ibunya sepanjang pemergian beliau. Sesudah mencium tangan ibunya yang tercinta, berangkatlah Uwais menuju ke Madinah yang jaraknya sekitar empat ratus kilometer dari Yaman. Dengan laluan yang sangat mencabar akhirnya tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segeralah ia menuju ke rumah Nabi saw, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah Sayyidatina Aisyah r.a., sambil menjawab salam Uwais. Segera saja Uwais menanyakan Nabi saw yang ingin ditemuinya. Namun ternyata baginda saw tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tidak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi saw dari medan perang. Tapi, beliau teringat akan pesan ibunya sudah tua dan sentiasa dalam keadaan tidak sihat itu, agar ia cepat pulang ke Yaman, Engkau harus lekas pulang. Disebabkan ketaatan kepada ibunya, pesanan ibunya itu telah mengalahkan suara hati untuk menunggu Nabi saw.



Ia akhirnya memohon kepada Sayyidatina Aisyah r.a. untuk pulang semula ke Yaman. Uwais lalu menitipkan salamnya kepada Nabi saw dan melangkah pulang dengan perasaan hampa kerana tidak dapat bertemu dengan Kekasih Allah.
Sepulangnya dari perang, Nabi saw langsung bertanya tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad saw menjelaskan bahawa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Beliau adalah penghuni langit (sangat terkenal di langit). Mendengar perkataan baginda Rasulullah saw, Sayyidatina Aisyah r.a. dan para sahabatnya terpegun seketika. Lalu kata Sayyidatina Aisyah r.a., memang benar sebelum ini ada seseorang telah datang mencari Rasulullah saw tetapi orang itu segera pulang ke Yaman, kerana teringat akan ibunya yang sudah tua dan sakit sehinggakan beliau bimbang meninggalkan ibunya terlalu lama. Rasulullah saw bersabda : Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah bahawa ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya. Sesudah itu baginda saw, memandang kepada Sayyidina Ali k.w. dan Sayyidina Umar r.a. lalu bersabda: Apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya kerana dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi.


Tahun berganti tahun dan Umar r.a menjadi khalifah kedua menggantikan Abu Bakar As-Siddiq yang telah wafat. Abu Bakar dipilih menjadi khalifah selepas Rasulullah saw wafat. Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi saw tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan sahabatnya, Sayyidina Ali k.w. untuk mencari Uwais bersama. Sejak itu, setiap kali ada kafilah yang datang dari Yaman, mereka berdua akan bertanya tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka. Diantara kafilah-kafilah itu ada yang merasa hairan, apakah sebenarnya yang dicari oleh kedua-dua sahabat besar itu. Rombongan kafilah dari Yaman menuju ke Syam silih berganti membawa barang dagangan mereka.



Suatu ketika, Uwais al-Qarni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah. Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, bersegeralah khalifah Umar r.a. dan Sayyidina Ali k.w. mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka. Rombongan itu mengatakan bahwa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawapan itu, mereka berdua bergegas menemui Uwais al-Qarni. Sesampainya di tempat Uwais, Khalifah Umar r.a. dan Sayyidina Ali k.w. memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan solat. Setelah mengakhiri solatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman. Sewaktu berjabatan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk membuktikan kebenaran tanda putih yang berada ditelapak tangan Uwais, sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi saw. Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut, Siapakah nama saudara ? Lalu jawab Uwais, Abdullah. Mendengar jawaban itu, kedua sahabat itupun tertawa dan mengatakan : Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya ? Uwais kemudian berkata: Nama saya Uwais al-Qarni.



Sepanjang perkenalan mereka, tahulah mereka bahawa ibu Uwais telah meninggal dunia. Itulah sebabnya, beliau baru dapat turut serta bersama rombongan kafilah dagang itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan Ali k.w. memohon agar Uwais berkenan mendoâkan untuk mereka. Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah: Sayalah yang harus meminta doa dari kalian. Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata: Kami datang ke sini untuk mohon doa dan istighfar dari tuan. Disebabkan didesak oleh dua sahabat besar ini, Uwais al-Qarni akhirnya mengangkat kedua belah tangannya lalu berdoa dan membacakan istighfar. Setelah itu Khalifah Umar r.a. berjanji untuk memberinya uang negara dari Baitul Mal kepada Uwais sebagai biaya hidupnya. Uwais menolaknya dengan lembut dengan berkata: Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi.
Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam dan tidak langsung terdengar beritanya. Tapi diriwayatkan ada seorang lelaki pernah bertemu dan dibantu oleh Uwais. Kata orang itu, waktu itu kami sedang berada di atas kapal menuju ke tanah Arab bersama para pedagang, tanpa disangka-sangka angin ribut bertiup dengan kencang. Akibatnya hempasan ombak menghentam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang lelaki yang mengenakan selimut berbulu di berada di satu sudut kapal lalu kami memanggilnya. Lelaki itu bangun lalu melakukan solat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu. Wahai waliyullah, Tolonglah kami! Tetapi lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi, Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami! Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata: Apa yang terjadi? Tidakkah engkau melihat bahawa kapal dibadai ribut dan dihentam ombak ?tanya kami. Dekatkanlah diri kalian pada Allah ! katanya. Kami telah melakukannya. Keluarlah kalian dari kapal dengan membaca bismillahirrohmaanirrohiim!  Kami pun keluar dari kapal satu persatu dan berkumpul di dekat itu. Pada saat itu jumlah kami lima ratus jiwa lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami yang lain tenggelam ke dasar laut bersama isinya. Lalu orang itu berkata pada kami , Tidak mengapalah harta kalian menjadi korban asalkan kalian semua selamat. Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan ? Tanya kami. Uwais al-Qarni. Jawabnya dengan singkat. Kemudian kami berkata lagi kepadanya, Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir. Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membahagi-bahagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?  tanya Uwais. Ya,jawab kami. Orang itu pun melaksanakan solat dua rakaat di atas air, lalu berdoa. Sebaik sahaja Uwais al-Qarni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menaikinya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membahagi-bahagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah sehingga tidak ada satupun yang tertinggal.
Beberapa waktu kemudian, tersiarlah khabar bahawa Uwais al-Qarni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia hendak dimandikan tiba-tiba terlalu banyak orang yang berebut hendak memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikapan, begitu ramai orang yang menunggu untuk mengkapannya. Demikian pula ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke perkuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebut hendak mengusungnya. Meninggalnya Uwais al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat menghairankan penduduk Yaman. Sedemikian banyaknya orang yang tak dikenali datang untuk mengurus jenazah dan pemakamannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang langsung tidak dihiraukan orang. Sejak ia dimandikan sampailah ketika jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, ada sahaja orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang. Mereka tertanya-tanya: Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qarni ? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tidak memiliki apa-apa, yang kerjanya hanyalah sebagai penggembala kambing dan unta? Tetapi, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenal. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya. Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahui siapa Uwais al-Qarniyang ternyata tidak terkenal di bumi tapi terkenal di langit.

SUMBER

10 Wasiat Rosul Buat Wanita Sholehah


Ukhti, sebaik baik perhiasan dunia adalah wanita sholehah. Dan ''perkara yang pertama kali ditanyakan kepada seorang wanita pada hari kiamat nanti, adalah mengenai sholat lima waktu dan ketaatannya terhadap suami,  (HR. Ibnu Hibban, dari Abu Hurairah).

Ukhti, ada 10  wasiat Rasullullah kepada putrinya Fatimah binti Rasullullah. Sepuluh wasiat yang Beliau sampaikan merupakan mutiara yang termahal nilainya bila kemudian dimiliki oleh setiap istri sholehah, wasiat tersebut adalah::

1. Ya Fatimah, kepada wanita yang membuat tepung utk suami dan anak 2nya, Allah pasti akan menetapkan kebaikan baginya dari setiap biji gandum,melebur kejelekan, dan meningkatkan derajat wanita itu.

2. Ya Fatimah, kepada wanita yang berkeringat ketika menumbuk tepung untuk suami dan anak2nya, niscaya Allah menjadikan dirinya dgn neraka tujuh tabir pemisah

3. Ya Fatimah, tiadala seorsng yang meminyaki rambut anak2nya lalu menyisirnyadan mencuci pakainny, melainkan Allah akan menetapkan  pahala baginya seperti pahala  memberi makan seribu orang yang kelaparan dan memberi pakaian seribu orang yang telanjang

4. Ya Fatimah, tiadalah wanita yang menahan kebutuhan tetangganya, melainkan Allah akan menahankannya dari minum telaga kautsar pada hari  kiamat nanti

5. Ya Fatimah, yang utama dari seluruh keutamaan diatas adalah keridhoan suami terhadap istri. Andaikan suami tidak ridho kepadamu, maka aku tidak akan mendoakanmu
Ketahuilah wahai Fatimah, kemarahan suami adalah kemurkaan Allah

6. Ya Fatimah, apabila wanita mengandung, maka malaikat memohonkan ampunan baginya dan Allah menetapkan baginya setiap hari seribu kebaikan serta melebur seribu kejelekan. Ketika waanita merasa sakit akan melahirkan, Allah menetapkan pahala baginya sama dengan pahala para pejuang di jalan Allah. Jika dia melahirkan kandungannya, maka bersihlah dosa2nya seperti dia dilahirkan dr kandungan ibunya. Bila meninggal ketika melahirkan, maka dia tidak akan membawa dosa sedikitpun. Di dalam kubur akan mendapat pertamanan indah yang merupakan bagian dari taman surga. Dan Allah memberikan pahala kepadanya sama dengan pahala seribu orang yang melaksanakan ibadah haji dan umrah, dan sribu malaikat memohonkan ampunan baginya hingga hari kiamat.

7. Ya Fatimahan, tiadalah wanita yang melayani suami selama sehari semalam dgn rasa senang dan ikhlas, melainkan Allah mengampuni dosa2nya serta memakaikan pakaian padanya di hari kiamat berupa pakaian yang serba hijau, dan menetapkan baginya setiap rambut pada tubuhnya seribu kebaikan. Dan Allah memberikan  kepadanya pahala seratus kali beribadah haji dan umrah.

8. Ya Fatimah, tiadalah wanita yang tersenyum dihadapan suami, melainkan Allah memandangnya dengan pandangan penuh kasih.

9. Ya Fatimah, tiadlah wanita yang membentangkan alas tidur buat suaminya dengan rasa senang hati, melainkan para malaikat memanggil dari langit menyeru wanita itu agar menyaksikan pahala  amalnya, dan ALlah mengampuni dosa2nya yang telah lalu dan yang akan datang.

10. Ya Fatimah, tidalah wanita yang meminyaki kepala suami dan menyisirnya, meminyaki jenggot dan memotong kumisnya, serta memotong kukunya, melainkan Allah memberi minuman yang dikemas indah kepadanya yang didatangkan dari ah sakaratul sungai2 surga. Allah mempermudah sakaratul maut baginya, serta kuburnya menjadi bagian dari taman surga. Dan Allah menetapkan baginya bebas dari siksa neraka serta dapat melintasi shirathal mustaqim dengan selamat.

Begitu indah jadi wanita yg dengan kelembutan dan kasihny dapat merubah dunia. Maka jadilah wanita sholehah, agar negri menjadi indah, karena dirimu adalah tiang negri ini..

Semoga bermanfaat.....

SUMBER

Kisah Di Terimanya Haji Sebelum Berangkat Ke Tanah Suci

Kisah Di Terimanya Haji Sebelum Berangkat Ke Tanah Suci

Ini kesekian kalinya Abdullah bin Mubarak menunaikan ibadah haji. Setelah thawaf, ulama besar tabi’ut tabi’in yang lahir pada 118 H itu bermimpi. Ia melihat dua malaikat yang turun dari langit sedang bercakap-cakap.

“Berapa jumlah umat Islam yang menunaikan haji pada tahun ini?” tanya salah seorang malaikat.
“600.000 jama’ah haji,” jawab malaikat yang lain, “sayangnya tidak ada satupun dari mereka yang diterima hajinya”

Dalam mimpi itu, Abdullah bin Mubarak merasa terperangah. Jumlah sebanyak itu tak ada yang diterima? “Padahal jama’ah haji ini datang dari berbagai negeri. Mereka sudah mengeluarkan banyak uang, melalui perjalanan yang panjang dan melelahkan. Bagaimana mungkin semuanya tidak diterima?” Ibnu Mubarak menangis.

“Namun…” lanjut malaikat, “Ada satu orang yang hajinya diterima. Namanya Ali bin Muwaffaq, seorang penduduk Damaskus yang berprofesi sebagai tukang sepatu. Sebenarnya ia tidak jadi berangkat haji, tetapi Allah menerima hajinya dan mengampuni dosanya. Bahkan berkat dia, seluruh jama’ah haji yang sekarang ada di tanah suci ini diterima hajinya oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Abdullah bin Mubarak sangat bahagia. Ia bersyukur, hajinya dan haji seluruh jama’ah diterima. Sayangnya, Abdullah bin Mubarak terbangun sebelum mendengarkan dialog malaikat berikutnya. Sehingga ia pun tidak mengetahui lebih lanjut siapa orang mulia yang karenanya haji ratusan ribu orang ini diterima.

Musim haji selesai, rasa penasaran Abdullah bin Mubarak semakin menjadi. Maka ia pun memutuskan untuk pergi ke Damaskus, mencari seorang lelaki yang hajinya diterima sebelum ia datang ke tanah suci.

Damaskus bukanlah kota kecil. Alangkah susahnya mencari seseorang yang hanya diketahui nama dan profesinya, tanpa diketahui alamatnya. Namun dengan izin Allah, setelah berusaha dan bertanya ke sana kemari, akhirnya Abdullah bin Mubarak dapat menemukan rumah orang yang bernama Ali bin Muwaffaq.

“Assalamu’alaikum,” kata Abdullah bin Mubarak di depan rumah itu.
“Wa’alaikum salam”
“Benarkah ini rumah Ali bin Muwaffaq, tukang sepatu?”
“Ya, benar. Ada yang bisa saya bantu?”
“Saya Abdullah bin Mubarak, sewaktu haji saya bermimpi dua malaikat bercakap-cakap bahwa seluruh jama’ah haji tidak diterima hajinya kecuali Ali bin Muwaffaq, tukang sepatu dari Damaskus. Padahal Ali bin Muwaffaq tidak jadi berangkat haji. Lebih dari itu, Allah akhirnya menerima haji seluruh jama’ah berkat Ali bin Muwaffaq” mendengar itu Ali bin Muwaffaq sangat terkejut, hingga jatuh pingsan.

Setelah ia sadar, Abdullah bin Mubarak menceritakan kisahnya lebih lengkap. “Amal apakah yang telah engkau lakukan sehingga Allah menerima hajimu padahal engkau tidak jadi berangkat ke tanah suci?”

“Ya, aku memang tidak jadi berangkat haji. Sungguh anugerah dari Allah jika Allah mencatatku sebagai orang yang hajinya diterima. Sebenarnya aku telah menabung sejak lama, hingga terkumpullah biaya haji. Namun suatu hari, sebelum aku berangkat ke tanah suci, aku dan istriku mencium masakan yang sedap. Istriku yang sedang mengandung jadi sangat ingin masakan itu. Lalu kucari sumbernya, ternyata dari tetanggaku. Aku katakan maksudku, namun ia malah menjawab, ‘Sudah beberapa hari anakku tidak makan. Hari ini aku menemukan keledai mati tergeletak, lalu aku memotong dan memasakknya menjadi masakan ini. Makanan ini tidak halal untuk kalian.’ Mendengar itu, aku merasa tertampar sekaligus sangat sedih. Bagaimana mungkin aku akan berangkat haji sedangkan tetanggaku tidak bisa makan. Maka kuambil seluruh uangku dan kuserahkan padanya untuk memberikan makan anak dan keluarganya. Karena itu, aku tidak jadi berangkat haji.”

Abdullah bin Mubarak terharu. Bulir-bulir air mata membasahi pipi ulama itu. “Sungguh pantas engkau menjadi mabrur sebelum haji. Sungguh pantas hajimu diterima sebelum engkau pergi ke tanah suci,” kata Abdullah bin Mubarak kepada Ali bin Muwaffaq.

SUMBER

Cara Kerja Dzikir Mengatasi Penyakit Jantung Dan Stroke

Cara Kerja Dzikir Mengatasi Penyakit Jantung Dan Stroke

Benarkah dzikir dapat membantu mengatasi penyakit jantung dan stroke, atau dapat mencegahnya? Bagaimana cara kerjanya?

Dzikir dalam Al Qur’an disebutkan sebagai penenang hati. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

الَّذِينَ آمَنُوا وَتَطْمَئِنُّ قُلُوبُهُمْ بِذِكْرِ اللَّهِ أَلا بِذِكْرِ اللَّهِ تَطْمَئِنُّ الْقُلُوبُ

(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka manjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram.
(QS. Ar Ra’du : 28)

Dalam bab penyakit jantung dan stroke, para peneliti menemukan, stres kronis memicu produksi sel darah putih secara berlebihan. Sel darah putih yang berlebihan ini kemudian mengumpul pada dinding bagian dalam arteri, membatasi aliran darah, dan mendorong pembentukan bekuan yang menghalangi sirkulasi, atau menjadi pecah dan menyebar ke bagian tubuh yang lain.

Seperti dikutip Hidayatullah, penelitian yang dilakukan Nahrendorf beserta tim terhadap 29 pekerja medis di unit perawatan intensif (ICU), sebagai lingkungan kerja dengan depresi relatif tinggi, menemukan bahwa saat mereka bertugas, stres mengaktifkan sel-sel induk sumsum tulang, yang pada gilirannya memicu kelebihan produksi sel darah putih, yang disebut leukosit. Kondisi ini berbeda dengan hasil pemeriksaan saat mereka tidak sedang bertugas.

Nah, sel darah putih, yang penting dalam penyembuhan luka dan melawan infeksi, dapat berbalik melawan “tuan rumah mereka”, dengan konsekuensi bisa menghancurkan dengan penyakit aterosklerosis, penebalan dinding arteri disebabkan oleh penumpukan plak.

Percobaan pada tikus juga menemukan hal serupa. Tikus yang stres, sel-sel darah putih yang diproduksi berlebihan, berkumpul di bagian dalam arteri dan mendorong pertumbuhan plak. Melunaknya jaringan ikat dan terganggunya plat inilah yang menjadi penyebab khas infark miokrad (serangan jantung) dan stroke.

Sementara dzikir, seperti disebut dalam surat Ar Ra’du di atas, ia menetralisir ketegangan yang dialami oleh pelakunya, sehingga kondisi kejiwaannya menjadi stabil dan santai. Pada orang yang kondisinya tidak tegang, dzikir semakin mendamaikan hatinya.

Saat kondisi tubuh tenang dan damai, produksi sel dan sel darah putih berjalan secara normal. Tidak kurang, juga tidak berlebihan/surplus. Dengan demikian, tidak ada jaringan ikat yang terganggu, juga tidak timbul kerusakan plak.

Kondisi jiwa yang tenang dengan dzikir juga membuat fisik tenang, termasuk denyut jantung, denyut nadi dan peredaran darah. Denyu jantung, denyut nadi dan peredaran darah yang normal relatif membuat tubuh lebih terjaga dan sistem kekebalan tubuh lebih efektif bekerja. Imunitas menjadi lebih kuat.

Jadi, dzikir relatif mampu menjaga seseorang dari penyakit yang diakibatkan oleh depresi khususnya penyakit jantung dan stroke. Sedangkan bagi orang yang terlanjur menderita sakit jantung dan stroke, dzikir juga dapat menjadi terapi untuk meringankan, bahkan menyembuhkannya. Yang perlu diingat, dzikir yang dimaksud di sini bukanlah sekedar menyebut asma-asma Allah atau kalimat thayyibah, tetapi juga meresapi maknanya sehingga mendatangkan ketenangan seperti yang difirmankan Allah dalam Surat Ar Ra’du ayat 28 di atas. Wallahu a’lam bish shawab.

SUMBER

Dialog Yang Membuat Seseorang Tiba Tiba Menjadi Kaya

Dialog Yang Membuat Seseorang Tiba Tiba Menjadi Kaya
Click Here!

Dengan langkah gontai, seorang laki-laki datang ke sebuah masjid. Ia ikut shalat berjama’ah Dzuhur siang itu. Satu per satu jama’ah pulang setelah berdzikir dan berdoa, tetapi tidak demikian dengan lelaki itu. Ia menunggu sang imam.

“Wahai Syaikh, bolehkah saya meminta wirid atau amalan yang membuat saya menjadi kaya? Saya ini miskin Syaikh, tidak punya apa-apa. Padahal saya sudah shalat. Sementara tetangga saya tidak shalat. Dia malah kaya raya,” katanya setelah mengucap salam pada ulama tersebut.
“Benarkah engkau miskin dan tidak punya apa-apa?” sang ulama balas bertanya.
“Benar Syaikh”
“Engkau punya dua buah mata. Bagaimana jika sebuah matamu ditukar ke rumah sakit sebelah masjid ini seharga 100 juta?”

Lelaki itu terkejut. Ia berpikir, kok jalan keluarnya seperti ini. Meski ingin kaya, ia tidak mau kehilangan anggota tubuhnya, sekecil apa pun. “Maaf Syaikh, mata saya jauh lebih mahal dari itu.”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh, mata ini tidak dijual”
“Bagaimana jika 1 milyar?”
“Tidak Syaikh”
“Bukankah hanya satu. Kamu masih punya satu mata lagi untuk melihat”
“Tidak Syaikh, saya tidak bisa membayangkan betapa menderitanya hidup saya jika saya tidak memiliki mata meski hanya sebelah.”

“Kalau begitu, bagaimana jika tanganmu saja. Satu buah tangan saja. Tangan kiri yang diamputasi, untuk disambungkan ke pasien rumah sakit tersebut. Dihargai 100 juta. Mau?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Tidak Syaikh. Bahkan 2 milyar pun saya tidak mau.”

“Kalau begitu, ini tawaran terakhir. Tidak akan mengganggu hidupmu. Manusia itu punya dua ginjal. Sebenarnya, dengan satu ginjal pun seseorang bisa hidup. Bagaimana jika ginjalmu saja yang dijual 100 juta?”
“Tidak Syaikh”
“Kalau 500 juta?”
“Tidak Syaikh”
“1 milyar?”
“Maaf Syaikh, saya tetap tidak mau. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika saya kehilangan sebelah ginjal saya”

“Jika demikian halnya. Bukankah engkau ini sangat kaya, saudaraku. Jika sebelah matamu harganya lebih dari 1 milyar, jika satu tanganmu harganya lebih dari 1 milyar, jika sebelah ginjalmu harganya lebih dari 1 milyar, jika jantungmu, paru-parumu, kakimu, hidungmu, lidahmu, telingamu dan semuanya dinilai dengan uang, betapa kaya dirimu. Kekayaanmu lebih dari ratusan milyar. Dan Allah memberikan semua itu gratis. Andaikan Allah menyuruh kita membayar oksigennya, menyuruh kita menyewa penglihatan dan pendengaran, kita takkan sanggup membayar itu, berapapun uang kita. Allah Maha Rahman; Maha Pemurah dan pengasih, semua hambaNya dikasih, tak pilih kasih. Tapi kita sebagai hamba, jarang bersyukur, banyak melupakan nikmat-nikmatNya. Di surat Ar Rahman Allah mengingatkan kita dengan kalimat ‘fa bi ayyi ‘aalaa-I Rabbikumaa tukaddzibaan’ maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan. Ini diulang 31 kali dalam Surat Ar Rahman. Yang kalau kita tadabburi, Allah Maha Rahman, tetapi kita berulang kali mendustakan nikmatNya…”

Sampai di sini, tak terasa mata laki-laki itu telah basah. Ia baru menyadari betapa kaya dirinya. Ia baru saja menolak transaksi senilai 3 milyar, dari ratusan milyar bahkan trilyunan nilai dirinya. Dan itu adalah nikmat dari Allah yang selama ini ia lupakan.

“Coba kita lihat di rumah sakit sebelah. Orang yang sakit jantung, ia mau membayar berapapun untuk kesembuhannya. Orang yang stroke, ia tak bisa menikmati berapapun kekayaannya. Orang yang kena diabetes akut, ia tak bisa melakukan apa-apa secantik apapun istrinya. Kita ini jauh lebih beruntung daripada mereka. Apalagi mereka yang sakit sekaligus tidak beriman. Sengsara dunia akhirat. Kita punya iman, itu adalah kunci keberuntungan. Kita dikarunuai kesehatan, ini adalah modal besar untuk mendapatkan kekayaan”

Pundak laki-laki itu berguncang, tangisnya semakin menjadi. “Terima kasih Syaikh, kini saya menyadari nikmat-nikmat Allah, dan saya merasa betapa kayanya diri saya”

“Alhamdulillah… selanjutnya, dengan landasan syukur itu, tingkatkanlah ibadah dan ikhtiarmu. Perbanyaklah shalat tahajud, mintalah pada Allah di sepertiga malam terakhir. Adukan semua masalahmu. Jika surga saja diberikan oleh Allah, tentu sangat mudah bagiNya memberikan apapun di dunia ini. Rutinkan shalat dhuha. Dan bersedekahlah. Tentu, rezeki tidak datang seperti hujan uang dari langit. Berusahalah, bisa dimulai dari yang kecil asal engkau lakukan dengan sungguh-sungguh, yang penting halal. Jangan malu jika mulai dari berdagang kecil-kecilan. Hasilnya, manfaatkan sebagian untuk makan, sebagian untuk tambahan modal dan sebagian untuk sedekah.”

Jika tadi lelaki tersebut masuk masjid dengan langkah gontai, kini ia keluar dari masjid dengan langkah tegap. Hatinya dipenuhi dengan syukur, harapan baru, dan semangat baru. Sebab ia sadar, ia adalah orang kaya. Kaya dengan karunia dariNya.

SUMBER

Kisah Kejujuran Mubarak Berbuah Cinta Lahirkan Ulama

Kisah Kejujuran Mubarak Berbuah Cinta Lahirkan Ulama

Kita tentu mengenal Abdullah bin Mubarak. Seorang ulama besar tabi’ut tabi’in yang lahir pada 118 H. Beliau menjadi rujukan fatwa di zamannya, bahkan setelah beliau tiada. Beliau dikagumi ibadah dan kezuhudannya, sekaligus semangat jihadnya.

Kita mengenal Abdullah bin Mubarak, namun tahukah kita siapa ayahnya? Membaca salah satu episode kehidupan Mubarak, kagumlah kita betapa jujurnya ia dan karenanya pantaslah jika putranya menjadi ulama besar.

Belasan tahun sesudah abad pertama Hijriyah berlalu, Mubarak masih menjadi budak. Ia ditugasi oleh tuannya untuk menjaga kebun delima. Bertahun-tahun Mubarak menjadi penjaga kebun delima itu. Suatu hari, majikannya datang ke kebun itu dan minta diambilkan delima yang manis.

Mubarak mengambilkan salah satu buah delima, tetapi majikannya tidak berkenan saat mencicipinya. “Ini masam, Mubarak,” katanya dengan nada kecewa, “carikan yang manis”

Mubarak mengambilkan buah kedua. “Ini juga masam, carikan yang manis!” kata-kata itu kembali meluncur dari sang majikan setelah ia mencicipinya.

Mubarak mengambilkan buah delima ketiga. Lagi-lagi, wajah majikan menandakan raut muka kecewa setelah memakannya. “Ini masam, Mubarak. Apakah kau tidak bisa membedakan buah delima yang manis dan buah delima yang masam?”

“Saya tidak dapat membedakannya, tuan. Sebab saya tak pernah mencicipinya?”

Mendengar jawaban itu, alangkah herannya sang majikan. “Kau tidak pernah mencicipinya? Padahal kau sudah bertahun-tahun aku tugaskan menjaga kebun ini”

“Iya tuan. Engkau menugaskan aku untuk menjaganya, bukan untuk mencicipinya. Karenanya aku tidak berani mencicipinya walaupun satu buah,” jawab Mubarak.

Sang majikan tidak jadi marah. Persoalan tidak mendapatkan delima yang manis terlupakan begitu saja. Yang ada kini hanya kekaguman. Ia kagum dengan kejujuran penjaga kebunnya. Belum pernah ia mendapati seseorang yang lebih jujur dan memegang amanah melebihi budak di hadapannya ini.

“Wahai Mubarak, aku memiliki putri yang belum menikah,” kata sang majikan mengubah topik pembicaraan, “menurutmu, siapakah yang pantas menikah dengan putriku ini?”

“Dulu, orang-orang jahiliyah menikahkan putrinya atas dasar keturunan,” jawab Mubarak, “Orang-orang Yahudi menikahkan putrinya atas dasar harta dan kekayaan. Orang-orang Nasrani menikahkan putrinya atas dasar ketampanan. Maka sudah selayaknya orang-orang Muslim menikahkan putrinya atas dasar agama.”

Jawaban ini semakin membuat sang majikan kagum dengan Mubarak. Dan selang beberapa waktu, Mubarak dipilih olehnya untuk menjadi menantu. Ia dinikahkan dengan putrinya. Dan dari pernikahan mereka, lahirlah Abdullah bin Mubarak pada tahun 118 hijriyah.

Demikianlah, kejujuran selalu berbuah manis. Apa yang dialami Mubarak, kejujuran membuatnya bebas, dari budak menjadi orang yang merdeka. Bahkan, kejujuran mempertemukannya dengan cinta dan jodohnya. Apa yang dialami Mubarak juga mirip dengan apa yang dialami oleh ayah Imam Syafi’i. Kejujuran selalu berbuah manis.

Kisah ini –seperti halnya kisah kejujuran ayah Syafi’i- juga menegaskan, bahwa jika kita menginginkan anak yang shalih, maka hal itu harus dimulai dari diri kita. Dengan menjadi pribadi yang jujur, dengan menjadi pribadi yang berakhlak mulia, dengan menjadi pribadi yang shalih yang berpegang teguh pada agama. Lalu menikah dengan wanita yang jujur, berakhlak mulia dan berpegang teguh pada agama juga. Setelah itu, dengan memperbanyak doa, tentunya dengan izin Allah Subhanahu wa Ta’ala, semoga lahirlah anak-anak shalih yang kita dambakan bersama.

SUMBER

Kisah Pastor Masuk Islam Setelah Gagal Bakar Alquran

Kisah Pastor Masuk Islam Setelah Gagal Bakar Alquran
Kisah ini diabadikan Manshur Al Iwaji dalam bukunya Ajaa’ib Al Qashash, mengutip berita harian umum Tartiim yang terbit di Nigeria.

Pastor Woll Frost, namanya. Pemuka gereja di Angola itu memegang sebuah mushaf dan menghadap jema’atnya. Ia kemudian melemparkan mushaf itu ke lantai dan menyimarnya dengan bensin. Orang-orang memperhatikannya dengan serius, saat Woll Frost menyalakan korek api. Namun entah bagaimana, tiba-tiba tangannya tersulut api dari korek itu. Mungkin tadi tangan itu terciprat bensin saat menyiram mushaf. Tangannya pun terbakar. Sedangkan mushaf tidak jadi dibakar. Tersentuh api pun tidak.

Menyaksikan peristiwa itu, para jema’at tercengang keheranan. Tetapi yang lebih heran adalah Woll Frost sendiri. Ia memikirkan peristiwa itu, dan mulai menyadari betapa ajaibnya Al Qur’an. Ia yang ingin membakar Al Qur’an, justru tangannya sendiri yang terbakar. Ia yang ingin menghina dan memalukan kitab suci umat Islam, malah ia sendiri yang dipermalukan.

Woll Frost memikirkan peristiwa itu, keajaiban itu, dan mulai menyadari bahwa ia baru saja diselamatkan dari hal paling gila yang akan dilakukannya. Selama ini kebencian membuatnya tertutupi dari kebenaran Al Qur’an. Selama ini kebencian membuatnya gelap memandang kitab suci yang mulai diakuinya penuh keajaiban. Dari lubuk hatinya yang paling dalam, ia kini menyadari bahwa Al Qur’an adalah kebenaran. Woll Frost pun kemudian mengikrarkan diri masuk Islam. Membaca syahadat.


Masuk Islamnya Woll Frost membuat lingkungannya gempar. Betapa tidak. Ia yang dulunya paling gencar memusuhi Al Qur’an, kini menjadi pengikutnya. Ia yang dulunya paling membenci Al Qur’an, kini mengakui kebenarannya. Ia yang dulu berniat membakar Al Qur’an, kini malah tunduk kepadaNya. Ia masuk Islam, menjadi mualaf, mengakui Al Qur’an sebagai wahyu Ilahi dan kitab suci.

Tak lama setelah keislaman Woll Frost, pemimpin gereka Angola Yaqoub Musa pun menyatakan masuk Islam. Keislaman keduanya diikuti oleh masuk Islamnya sekitar 200 orang lainnya.

Selain memimpin gereja, Yaqoub Musa adalah Sekretaris Jenderal Lembaga Misionaris di Angola. Ia memangku jabatan itu kurang lebih selama 22 tahun. Begitu masuk Islam, ia kemudian mengundurkan diri dari jabatan tersebut.

Ketika pemimpin redaksi harian Tartiim mewawancarainya, Yaqoub Musa mengatakan bahwa saat ini (sewaktu buku Ajaa’ib Al Qashash ditulis) ia menghabiskan waktunya untuk menyebarkan Islam di Nigeria.

Masya Allah… demikianlah saat hidayah datang. Ia datang dengan kepada siapa yang dikehendakiNya dengan berbagai cara yang kadang tak pernah diduga. Saat hidayah datang, dan seseorang menyambutnya dengan sepenuh hati, Allah pun mengubahnya dengan segera. Ia yang tadinya membenci Islam menjadi sangat mencintainya. Ia yang tadinya memusuhi Islam, kini menjadi orang yang membelanya. Ia yang tadinya memprovokasi orang lain agar menjauhi Islam, kini berubah menjadi dai yang menyeru manusia untuk beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Semoga tulisan ini bermanfaat...
SUMBER

Kisah Ali bin Abi Thalib Akan Memotong Tangan Putrinya

Kisah Ali bin Abi Thalib Akan Memotong Tangan Putrinya


Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu merasa ada yang aneh dengan penampilan putrinya. Ada sesuatu yang gemerlap, atau memantulkan cahaya. Ternyata putrinya memakai perhiasan dari batu permata.
Alangkah terkejutnya Ali bin Abi Thalib. Ia tak habis pikir. Bagaimana mungkin dirinya dan keluarganya yang berkomitmen untuk zuhud dan menjaga diri mengikuti sunnah Nabi, putrinya memakai batu permata. Dari mana?
Karena tidak mendapatkan penjelasan, Ali bin Abi Thalib berniat memotong tangan putrinya. Ia tampak sungguh-sungguh akan melakukannya. Untunglah di sana ada Ibnu Abi Rafi’ yang tahu persis bagaimana putri Ali bin Abi Thalib bisa mengenakan perhiasan batu permata.
“Demi Allah, wahai Amirul mukminin, akulah yang memberinya hiasan batu permata itu,” kata Ibnu Rafi’.
Setelah mengetahui asal muasal perhiasan itu, tenanglah Ali bin Abi Thalib.
Demikianlah gambaran kehidupan para sahabat dan pemimpin Islam yang lurus. Mereka sangat giat meneladani Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Rasulullah zuhud, mereka pun berupaya untuk zuhud. Rasulullah adil, mereka pun berupaya untuk menegakkan keadilan.
Sifat zuhud membuat Ali bin Abi Thalib, meskipun menjadi pemimpin negara, ia tetap hidup sederhana. Betapa banyak riwayat yang menggambarkan hari-harinya yang sering menahan lapar. Pakaiannya lebih kusut dan kusam dibandingkan dengan rata-rata orang.
Sifat zuhud pula yang membuat Abu Bakar dan Umar, dua pemimpin yang sejatinya kaya raya, tetapi rela berpayah-payah menahan lapar. Pun dengan Utsman. Ia berlaku zuhud di tengah bergelimangnya harta bendanya hasil sukses berniaga.
Sifat zuhud inilah yang membuat Ali bin Abi Thalib takut jika ada sebuah benda, apalagi batu permata, tiba-tiba dimiliki oleh anggota keluarganya tanpa alasan yang jelas. Betapa jauh berbeda dibandingkan dengan penguasa dan pejabat di masa kini yang seringkali hartanya bertambah berlipat-lipat saat menjabat. Yang seringkali tiba-tiba ada pertambahan kekayaan signifikan tanpa mampu mendatangkan penjelasan; dari mana asalnya, atas sebab apa, dan sebagainya.
Sifat adil dan komitmen menegakkan keadilan juga menjadi perangai para sahabat dan khulafaur rasyidin. Mereka memberlakukan hukum secara adil kepada siapapun tanpa melihat status, tanpa memandang bulu, tanpa membedakan strata sosial. Sebagaimana Rasulullah mencontohkan dengan sabdanya “kalau saja Fatimah mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya”, demikian pula para pemimpin ini. Ali bin Abi Thalib hampir saja memotong tangan putrinya, seandainya saja ia tidak mendapatkan penjelasan dari mana batu permata itu berasal. Para pemimpin ini sedang memberikan keteladanan, bahwa tidak ada siapapun yang kebal hukum. Hatta, mereka adalah orang dekat dan keluarga khalifah.
Betapa berbedanya dengan penguasa dan pengadilan pada hari ini. Ketika seorang rakyat jelata mencuri, ia mendapatkan hukuman yang seberat-beratnya. Tetapi ketika kerabat atau kroni penguasa melakukan korupsi, hukum bisa dipermainkan sehingga mereka lolos dari jerat sanksi.
Tidakkah kita merindukan masa-masa yang penuh keadilan? Tidakkah kita merindukan masa-masa ketika pemimpin zuhud mengayomi seluruh umat? Semoga Allah mengembalikan masa-masa indah seperti itu. Dan kita perlu memulainya dari diri kita, mulai sekarang juga.

SUMBER 

Kisah Pilu Syahidnya Mush’ab bin Umair

Kisah Pilu Syahidnya Mush’ab bin Umair
Mush’ab bin Umair telah mengislamkan separuh penduduk Madinah dan menyiapkan kota itu menjadi tujuan hijrah. Tapi kini, ia harus mempertahankannya dari serbuan pasukan kafir Quraisy. Bersama sekitar 700 muslim lainnya, Mush’ab bin Umair bergerak menuju bukit Uhud.

Awalnya, peperangan dimenangkan oleh umat Islam. Pasukan kafir Quraisy terpukul mundur. Sementara pasukan berkuda mereka tak bisa banyak membantu karena pasukan pemanah kaum muslimin berjaga-jaga di atas bukit, siap melesatkan anak-anak panah jika mereka mendekat.




Menyaksikan pasukan kafir Quraisy kocar-kacir meninggalkan banyak ghanimah, kaum muslimin merasa mereka telah menang. Mereka pun mengumpulkan ghanimah itu. Melihat pemandangan di bawah, pasukan pemanah tergoda untuk turun. “Kita sudah menang, mari bergabung dengan teman-teman di bawah” kata mereka. Kini tinggal satu dua pemanah di atas bukit itu. “Kita diperintahkan Rasulullah untuk tetap di sini, apapun yang terjadi hingga ada perintah turun.” Kata-kata itu seperti tak terdengar. Para pemanah pergi ke bawah.

Melihat atas bukti kosong, Khalid bin Walid yang sedari tadi mengamati segera memberi instruksi. Dalam sekejap, pemimpin pasukan berkuda yang masih musyrik itu mengomando pasukannya untuk memutari bukit dan menghantam pasukan Islam. Mengetahui pasukan berkuda berhasil mendobrak pertahanan umat Islam, pasukan kafir Quraisy yang sebelumnya tercerai berai kini kembali. Mereka berbalik dan gantian menyerang pasukan Islam. Kondisi genting.

Tujuan kafir Quraisy dalam perang itu adalah menghentikan dakwah dengan melenyapkan pemimpinnya; Muhammad Rasulullah. Maka mereka mengkonsentrasikan serangan untuk mencari Rasulullah dan bertekad membunuhnya. Kondisi ini disadari oleh Mush’ab bin Umair. Maka ia pun mengibarkan bendera tinggi-tinggi, sambil berkelebat ke sana kemari menghadapi musuh. Ia ingin mengalihkan konsentrasi pasukan kafir Quraisy agar tidak mengejar Rasulullah.

Dan benar. Banyak pasukan kafir Quraisy yang kemudian mengerumuninya. Mengeroyoknya. Mereka terpancing untuk menjatuhkan bendera Islam dari tangan Mush’ab.

Mush’ab bertarung dengan gagah berani. Hingga Ibnu Qaimah, salah seorang pasukan berkuda menyerangnya dan menebas tangan kanannya. Tangan itu jatuh ke tanah. Berdarah-darah. Tetapi Mush’ab seperti tak merasa kesakitan. Ucapannya menggambarkan ingatannya akan nasib Rasulullah. Ia tidak mengaduh tetapi membaca ayat 44 dari surat Ali Imran. “Wa maa Muhammadun illa Rasuul, qad khalat min qablihir rusul. Afa-in maata au qutilan qalabtum ‘alaa a’qaabikum” (Tidaklah Muhammad melainkan seorang utusan sebagaimana utusan-utusan sebelumnya. Apakah jika Ia meninggal dunia atau terbunuh, kalian akan kembali ke belakang).

Musha’b mengambil bendera dengan tangan kirinya, mengibarkannya tetap meninggi. Namun kemudian musuh menebas tangan kirinya. Ia kembali mengulang ayat itu, sembari membungkuk berupaya menahan bendera dengan kedua pangkal lengannya.

Pasukan berkuda itu lantas menyerangnya lagi dengan tombak. Menghunjamkannya ke dada Mush’ab. Maka jatuhlah duta Islam yang tampan itu. Ia gugur sebagai syuhada’. Dan bendera pun roboh.

Ketika peperangan usai, kafir Quraisy telah pergi, para sahabat memeriksa satu per satu jenazah para syuhada’.

Betapa berdukanya Rasulullah dan para sahabat mengetahui Mush’ab telah syahid. Yang membuat pilu, Mush’ab yang dulunya kaya raya lalu meninggalkan kekayaan itu, kini tak memiliki apa pun sebagai kain kafan. Ia hanya mendapatkan kain kafan pendek. Jika ditutupkan ke kepalanya, maka kakinya kelihatan. Jika ditutupkan ke kakinya, kepalanya kelihatan. Rasulullah memerintahkan agar kain itu ditutupkan ke kepala Mush’ab.

Memandang jenazah Mush’ab, dengan mata yang basah Rasulullah membaca firman Allah yang artinya: “Diantara orang-orang mukmin, terdapat orang-orang yang telah menepati janji mereka kepada Allah” (QS. Al Ahzab : 23)

Rasulullah kemudian bersabda kepada jasad Mush’ab, yang mengundang tangis siapapun yang mendengarnya: “Dulu ketika di Makkah, tak seorang pun yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya daripada engkau. Tapi sekarang ini, rambutmu kusut, hanya dibalut sehelai burdah.”

SUMBER

Kisah Mimpi Aneh yang Mengantarkan Profesor Matematika Masuk Islam

Kisah Mimpi Aneh yang Mengantarkan Profesor Matematika Masuk Islam


Sungguh sebuah mimpi yang aneh. Sebagai seorang berbakat, Jeffrey Lang tidak habis pikir dengan mimpi itu. Namun hati kecilnya mengakui, mimpi itu membawa kedamaian di tengah kehidupan “ilmiah”-nya yang gersang.

Dalam mimpi itu, Jeffrey bersimpuh menghadap Tuhan. Caranya, ia berdiri, kemudian membungkuk, berdiri lagi, kepala menyentuh lantai, hingga duduk di atas tumit. Ia melakukannya di sebuah ruang yang hening, tanpa meja tanpa kursi. Hanya ada karpet dan dinding yang berwarna putih keabuan. Selain Jeffrey, di ruangan itu juga banyak laki-laki membentuk beberapa barisan. Jeffrey berada di barisan ketiga. Sedangkan di depan mereka, ada seorang laki-laki yang duduk sendiri, tak ada orang lain di sampingnya. Ia tampak memimpin ‘ritual’ itu. Jeffrey tak bisa melihat wajahnya, tapi Jeffrey ingat betul di atas kepala pria itu ada kain putih dengan motif berwarna merah.

Tidak sekali itu saja Jeffrey bermimpi begitu. Berkali-kali, selama 10 tahun menjadi atheis, Jeffrey bermimpi yang sama. Namun, ia mengabaikannya begitu saja dan memenangkan nalar ‘ilmiah’-nya.

Jeffrey Lang lahir dan besar dalam keluarga Katolik. Namun sejak kecil, ia telah menjadi anak yang kritis. “Ayah, apakah surga itu benar-benar ada?” tanyanya saat masih menjadi bocah.

Saat ia memasuki usia remaja, pertanyaannya semakin banyak dan kritis. Namun pendeta dan orang-orang seagama yang ditemuinya tidak mampu memberikan jawaban yang memuaskan. Ketia ia berusia 18 tahun, Jeffrey merasa logika mengenai Tuhan menemui jalan buntu. Karenanya ia kemudian memilih menjadi atheis menjelang kelulusannya dari sekolah Notre Dam Boys High.

Dua puluh tahun berlalu sejak mimpi pertamanya bersimpun menghadap Tuhan. Jeffrey menjadi dosen di University of San Fransisco. Di Universitas itu, Jeffery bertemu dengan Ghassan, pemuda muslim yang menjadi mahasiswanya. Keduanya menjadi sering berdiskusi. Semula tentang pelajaran, kemudian Jeffrey juga mengenal keluarga mahasiswanya tersebut.

Suatu hari, Jeffrey diberi hadiah sebuah mushaf Al Qur’an terjemah. Di situlah titik hidayah itu dimulai. Jeffrey akhirnya membaca Al Qur’an itu. Halaman demi halaman. Ia merasa tertantang.

“Sejak awal, buku ini menantang diriku,” kata Jeffrey mengenang saat-saat itu. Agaknya ia membaca ayat kedua surat Al Baqarah: “Inilah kitab yang tidak ada keraguan di dalamnya, petunjuk bagi orang-orang yang bertaqwa.”

Jeffrey terus membaca Al Qur’an. Ia merasa setiap kali ia membantah ayat-ayat yang dibacanya, ayat berikutnya menjadi jawaban atas bantahannya tersebut. “Seolah Penulis kitab itu membaca pikiranku,” kenangnya.

Jeffrey mulai sadar bahwa kitab di depannya itu melampaui pikirannya. Ia sadar kitab di depannya itu telah mengisi kekosongan jiwa yang selama ini ia rasakan. Kitab itu bukan hanya menjawab pertanyaan-pertanyaannya tentang Tuhan dan alam semesta, tetapi juga membawa kedamaian bagi jiwanya. Hidayah mulai masuk ke dalam hatinya.

Dan hidayah itu semakin terang, tatkala ia melihat sebuah pemandangan di basement gereja Universitas. Sejumlah kecil mahasiswa muslim sedang beribadah. Karena kesulitan tempat, mereka menggunakan basement itu.

Jeffrey melihat mereka berbaris rapi. Berdiri bersama, menunduk bersama, lalu berdiri lagi, kemudian bersujud, dan duduk bersimpuh di atas tumit. Jeffrey ingat sesuatu. Terlebih setelah ia melihat di depan mereka ada seseorang yang memimpin mereka beribadah, memakai penutup kepala putih dengan motif berwarna merah. Rupanya itu Ghassan. “Ini mimpiku!” teriak Jeffrey dalam hati. Ya, pemandangan itu persis seperti mimpinya yang berulang beberapa kali beberapa tahun silam.

Jeffrey tak kuasa menahan tangis haru. Hatinya penuh damai. Ia tersungkur bersujud.

Singkat cerita, profesor Matematika ini kemudian masuk Islam. Ia lalu berdakwah melalui mimbar ilmiah dan menulis sejumlah buku. Diantaranya Struggling to Surrender (1994), Even Angels Ask (1997) dan Losing My Religion: A Call for Help (2004).

SUMBER

Indahnya Cinta Abu Dzar Al-Ghifary

Indahnya Cinta Abu Dzar Al-Ghifary
Lembah Waddan adalah sebuah area penting yang terletak antara Mekah dan Syam, karena merupakan jalur perlintasan kafilah dagang yang strategis. Di lembah itulah tinggal suku Ghifar yang terkenal. Mereka hidup dari “pajak” yang dipungut pada setiap rombongan kafilah yang melintas, bahkan tak segan merampok kafilah yang tidak membayar sesuai ketentuan yang mereka tetapkan.Pada suatu masa, ada salah seorang anggota suku Ghifar yang mengalami kegelisahan luar biasa karena mendengar selentingan berita tentang nabi baru di kota Mekah. Jundub bin Junadah, nama anggota suku itu yang kemudian dikenal sebagai Abu Dzar, merasakan kegelisahan itu begitu bergelora sampai akhirnya mendorong dirinya berangkat ke Mekah untuk mendatangi langsung sumber beritanya. Singkat cerita, datanglah Abu Dzar ke kota Mekah dan langsung jatuh cinta dengan ajaran Muhammad pada pertemuan pertama.

Abu Dzar adalah orang kelima/keenam yang pertama-tama masuk Islam. Dialah orang yang berani memproklamirkan keislamannya di tengah keramaian kota Mekah. Alhasil, dirinya menjadi bulan-bulanan dipukuli warga Mekah waktu itu, sampai dilerai oleh Ibnu Abbas yang mengingatkan warga Mekkah bahwa Abu Dzar adalah warga Ghiffar yang akan menuntut balas jika mereka membunuhnya.

Abu Dzar sangat mencintai Rasulullah dengan segenap jiwa raganya. Suatu ketika, dalam perjalanan menuju perang Tabuk (9 H), Abu Dzar tertinggal karena lambatnya unta yang dikendarai. Karena semakin tertinggal dari rombongan Rasulullah, Abu Dzar memutuskan untuk berjalan kaki. Mengetahui hal tersebut, Rasulullah memutuskan berkemah di tempat terdekat. Lama mereka menunggu di tengah panas terik padang pasir, sampai akhirnya terlihat sesosok lelaki berjalan mendekat. Seorang sahabat berseru,

“Ya Rasul, itu Abu Dzar!!”

dan Rasulullah berkata,

“Semoga Allah mengasihi Abu Dzar, ia berjalan sendirian, akan meninggal sendirian, dan dibangkitkan kelak pun sendirian”.

Abu Dzar tiba dengan tubuh lemah dan pucat pasi karena kehausan. Rasulullah heran karena tangan Abu Dzar menggenggam sebungkus air minum.

“Kamu punya air tetapi kamu tampak kehausan?“, tanya sang Rasul.

“Ya Nabi Allah, di tengah jalan aku sangat kehausan sampai akhirnya menemukan air yang sejuk. Aku khawatir Nabi juga merasakan kehausan yang sama, maka tidaklah adil jika aku meminum air ini sebelum Nabi meminumnya” jawab Abu Dzar.

Subhanallah, begitu besar cinta Abu Dzar kepada sang Nabi.

Setelah Rasulullah wafat, Abu Dzar meninggalkan kota Madinah, untuk berdakwah dan mempertahankan nilai-nilai kehidupan dari kontaminasi kenikmatan dunia. Hidupnya semakin terkucil karena perbedaan pendapat dengan penguasa saat itu. Sabda Rasulullah tentang kesendirian Abu Dzar terbukti, ketika pada tahun 32 H, tiada yang menemani kepergiannya kecuali isteri dan anaknya. Menjelang meninggalnya, beliau berwasiat kepada isteri dan anaknya itu agar keduanya yang memandikan dan mengkafaninya.

Tatkala Abu Dzar meninggal, keduanya pun melakukan apa yang diwasiatkannya, lalu meletakkan beliau di pinggir jalan. Saat itu lewatlah Abdulah bin Mas’ud dan sekelompok rombongan dari Iraq untuk umrah. Mereka menemukan sebuah jenazah di pinggir jalan yang disampingnya ada seekor unta dan seorang anak yang berkata,

“Ini adalah Abu Dzar sahabat Rasulullah, maka tolonglah kami untuk menguburkannya”.

Maka, Abdullah bin Mas’ud pun menangis dan berkata,

“Sungguh telah benar Rasulullah, beliau bersabda bahwa Abu Dzar, dia berjalan pergi sendirian, dan meninggalpun dalam kesendirian, dan akan dibangkitkan dalam kesendirian pula”.

Itulah Abu Dzar Al Ghifari, yang dipuji oleh Rasulullah dalam sebuah sabdanya,

“Bumi tidak pernah menadah dan langit tidak pernah menaungi orang yang lebih jujur daripada Abu Dzar”

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini

Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat

SUMBER 

Abu Dzar Al Ghifari RA,Sosok Pejuang Sendirian

Abu Dzar Al Ghifari RA,Sosok Pejuang Sendirian
Bani Ghifar adalah qabilah Arab suku badui yang tinggal di pegunungan yang jauh dari peradaban orang-orang kota. Lebih-lebih lagi suku ini terkenal sebagai gerombolan perampok yang senang berperang dan menumpahkan darah serta pemberani. Bani Ghifar terkenal juga sebagai suku yang tahan menghadapi penderitaan dan kekurangan serta kelaparan. Latar belakang tabi’at kesukuan, apakah itu tabiat yang baik ataukah tabi’at yang jelek, semuanya terkumpul pada diri Abu Dzar.

Nama lengkapnya yang mashur ialah Jundub bin Junadah Al Ghifari dan terkenal dengan kuniahnya Abu Dzar. Di suatu hari tersebar berita di kampung Bani Ghifar, bahwa telah muncul di kota Makkah seorang yang mengaku sebagai utusan Allah dan mendapat berita dari langit. Serta merta berita ini sangat mengganggu penasaran Abu Dzar, sehingga dia mengutus adik kandungnya bernama Unais Al Ghifari untuk mencari berita ke Makkah. Unais sendiri adalah seorang penyair yang sangat piawai dalam menggubah syair-syair Arab. Berangkatlah Unais ke Makkah untuk mencari tahu apa sesungguhnya yang terjadi di Makkah berkenaan dengan berita kemunculan utusan Allah itu. Dan setelah beberapa lama, kembalilah Unais kekampungnya dan melaporkan kepada Abu Dzar tentang yang dilihat dan didengar di Makkah berkenaan dengan berita tersebut.
Ditanyakan oleh Abu Dzar kepada Unais :

“Apa yang telah kamu lakukan ?”, tanyanya.

Unais menjelaskan : “Aku sungguh telah menemui seorang pria yang menyeru kepada kebaikan dan mencegah dari perbuatan yang jelek”.

Abu Dzar bertanya lagi : “Apa yang dikatakan orang-orang tentangnya ?”.

Unais menjawab : “Orang-orang mengatakan, bahwa dia adalah tukang sya’ir, tukang tenung, dan tukang sihir. Tetapi aku sesungguhnya telah biasa mendengar omongan tukang tenung, dan tidaklah omongannya serupa dengan omongan tukang tenung. Dan aku telah membandingkan omongan darinya dengan omongan para tukang sya’ir, ternyata amat berbeda omongannya dengan bait-bait sya’ir. Demi Allah, sesungguhnya dia adalah orang yang benar ucapannya, dan mereka yang mencercanya adalah dusta”.

Mendengar laporan dari Unais itu, Abu Dzar lebih penasaran lagi untuk bertemu sendiri dengan orang yang berada di Makkah yang mengaku telah mendapatkan berita dari langit itu. Segeralah dia berkemas untuk berangkat menuju Makkah, demi menenangkan suara hatinya itu. Dan sesampainya dia di Makkah, langsung saja menuju Ka’bah dan tinggal padanya sehingga bekal yang dibawanya habis.

Dia sempat bertanya kepada orang-orang Makkah, siapakah diantara kalian yang dikatakan telah meninggalkan agama nenek moyangnya ?

Orang-orangpun segera menunjukkan kepada Abu Dzar, seorang pria yang ganteng putih kulitnya dan bersinar wajahnya bak bulan purnama.

Abu Dzar memang amat berhati-hati, dalam kondisi hampir seluruh penduduk Makkah memusuhi dan menentang Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam.

Dan orangpun di Makkah dalam keadaan takut dan kuatir untuk mendekat kepada beliau sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam, karena siapa yang mendekat kepadanya bila dia adalah dari kalangan budak belian, akan menghadapi hukuman berat dari tuannya.

Demikian pula bila dari kalangan pendatang dan tidak mempunyai qabilah pelindungnya di Makkah. Demi keadaan yang demikian mencekam, Abu Dzar tidak gegabah berbicara dengan semua orang dalam hal apa yang sedang dicarinya dan apa yang diinginkannya.

Dia hanya menanti dan menanti di Ka’bah, dalam keadaan semua perbekalannya telah habis. Dia berusaha mengatasi rasa lapar yang mengganggu perutnya dengan minum air zam-zam dan tidak ada makanan lain selain itu. Demikian terus suasana penantian itu berlangsung selama tiga puluh hari dan perut Abu Dzar selama itu tidak kemasukan apa-apa kecuali hanya air zam-zam. Ini sungguh sebagai karamah air zam-zam, karena nyatanya Abu Dzar badannya serasa semakin gemuk selama tiga puluh hari itu. Apa sesungguhnya yang dinantinya ?

yang dinantinya hanyalah kesempatan menemui dan berdialog langsung dengan pria ganteng berwajah bulan purnama itu, untuk mengetahui darinya langsung agama apa sesungguhnya yang dibawanya. Dia setiap harinya terus menerus mengamati tingkah laku pria ganteng tersebut dan sikap masyarakatnya yang anti pati terhadapnya.

Di suatu hari yang cerah, Abu Dazar bernasib baik. Sedang dia berdiri di salah satu pojok Ka’bah, lewat di hadapan beliau Ali bin Abi Thalib dan langsung menegurnya, apakah engkau orang pendatang di kota ini ?
Segera saja Abu Dzar menjawabnya : Ya !

Maka Ali bin Abi Thalib menyatakan kepadanya : Kemarilah ikut ke rumahku.

Maka Abu Dzarpun pergi ke rumah Ali untuk dijamu sebagai tamu. Dia tidak tanya kepada tuan rumah dan tuan rumah pun tidak tanya kepadanya tentang tujuannya datang ke kota Makkah. Dan setelah dijamu, Abu Dzarpun kembali ke Ka’bah tanpa bercerita panjang dengan tuan rumah. Tapi Ali bin Abi Thalib melihat pada gurat wajah tamunya, ada sesuatu keperluan yang sangat dirahasiakannya.

Sehingga ketika esok harinya, Ali berjumpa lagi dengan tamunya di Ka’bah dan segera menanyainya :

Apakah hari ini anda akan kembali ke kampung ?”.

Abu Dzar menjawab dengan tegas : “Belum !”.

Mendapat jawaban demikian, Ali tidak tahan lagi untuk menanyainya : “Apa sesungguhnya urusanmu, dan apa pula yang mendatangkanmu ke mari ?”.

Dan Abu Dzar pun terperangah mendapat pertanyaan demikian dari satu-satunya orang Quraisy yang telah menjamunya dan mengakrabkan dirinya dengan tamu asing ini. Tetapi Abu Dzar tidak lagi merasa asing dengan orang yang menjamunya ini, sehingga mendapat pertanyaan demikian langsung saja dia balik mengajukan syarat bernada antangan :

“Bila engkau berjanji akan merahasiakan jawabanku, aku akan menjawab pertanyaanmu”.

Langsung saja Ali menyatakan janjinya : “Aku berjanji untuk menjaga rahasiamu”.

Dan Abu Dzar tidak ragu lagi dengan janji pemuda uraisy yang terhormat ini, sehingga dengan setengah berbisik dia menjelaskan kepada Ali :

“Telah sampai kepada kami berita, bahwa telah keluar seorang Nabi”.

Mendengar kata-kata Abu Dzar itu Ali menyambutnya dengan gembira dan menyatakan kepadanya :

“Engkau sungguh benar dengan ucapanmu ?! ikutilah aku kemana aku berjalan dan masuklah ke rumah yang aku masuki. Dan bila aku melihat bahaya yang mengancammu, maka aku akan memberi isyarat kepadamu dengan berdiri mendekat ke tembok dan aku seolah-olah sedang memperbaiki alas kakiku. Dan bila aku lakukan demikian, maka segera engkau pergi menjauh”.

Maka Abu Dzarpun mengikuti Ali kemanapun dia berjalan, dan dengan tidak mendapati halangan apa-apa, akhirnya dia sampai juga di hadapan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam dan langsung menanyakan kepada beliau.

Inilah saat yang paling dinanti oleh Abu Dzar dan ketika Rasulullah menawarkan Islam kepadanya, segera Abu Dzar menyatakan masuk Islam dituntun Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam engan mengucapkan dua kalimah syahadat. Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam berwasiat kepadanya : “Wahai Aba Dzar, sembunyikanlah keislamanmu ini, dan pulanglah ke kampungmu !, maka bila engkau mendengar bahwa kami telah menang, silakan engkau datang kembali untuk bergabung dengan kami”.

Mendengar wasiat tersebut Abu Dzar menegaskan kepada Rasulullah sallallahu laihi wa aalihi wa sallam:

“Demi yang mengutus engkau dengan kebenaran, sungguh aku akan meneriakkan di kalangan mereka bahwa aku telah masuk Islam”. Dan Rasulullah mendiamkan tekat Abu Dzar tersebut.

Segera saja Abu dzar menuju Masjidil Haram dan di hadapan Ka’bah banyak berkumpul para tokoh-tokoh kafir Quraisy. Demi melihat banyaknya orang berkumpul padanya, Abu Dzar berteriak dengan sekeras- keras suara dengan menyatakan :

“Wahai orang-orang Quraisy, aku sesungguhnya telah bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar kecuali Allah dan aku bersaksi pula Muhammad itu adalah hamba dan utusan Allah”.

Mendengar omongan itu, para dedengkot kafir Quraisy marah besar dan mereka berteriak memerintahkan orang-orang di situ :

“Bangkitlah kalian, kejar orang murtad itu”.

Maka segera orang-orang mengerumuni Abu Dzar sembari memukulinya dengan nafsu ingin membunuhnya. Syukurlah waktu itu masih ada Al Abbas bin Abdul Mutthalib tokoh Bani Hasyim paman Rasulillah yang disegani kalangan Quraisy. Sehingga Al Abbas berteriak kepada masyarakat yang sedang beringas memukuli Abu Dzar :

“Celakalah kalian, apakah kalian akan membunuh seorang dari kalangan Bani Ghifar yang kalian harus melalui kampungnya di jalur perdagangan kalian”.

Demi masyarakat mendapat teriakan demikian, merekapun melepaskan Abu Dzar yang telah babak belur bersimbah darah akibat dari pengeroyokan itu. Demikianlah Abu Dzar, sosok pria pemberani yang bila meyakini kebenaran sesuatu perkara, dia tidak akan peduli menyatakan keyakinannya di hadapan siapapun meskipun harus menghadapi resiko seberat apapun. Dan apa yang dihadapinya hari ni, tidak menciutkan nyalinya untuk mengulang proklamasi keimanannya di depan Ka’bah menantang para dedengkot kafir Quraisy. Keesokan harinya dia mengulangi proklamasi keimanan yang penuh keberanian itu, dan teriakan syahadatainnya menimbulkan kembali berangnya para tokoh kafir Quraisy. Sehingga mereka memerintahkan untuk mengeroyok seorang Abu Dzar untuk kedua kalinya. Dan untuk kedua kalinya ini, Al Abbas berteriak lagi seperti kemarin dan Abu Dzarpun dilepaskan oleh masa yang sedang mengamuk itu dalam keadaan babak belur bersimbah darah seperti kemarin.

Setelah dia puas membikin marah orang-orang kafir Quraisy dengan proklamasi masuk Islamnya, meskipun dia harus beresiko hampir mati dikeroyok masa. Barulah dia bersemangat melaksanakan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam untuk pulang ke kampungnya di kampung Bani Ghifar. Abu Dzar pulang ke kampungnya, dan di sana dia rajin menda’wahi keluarganya. Unais Al Ghifari, adik kandungnya, telah masuk Islam, kemudian disusul ibu kandungnya yang bernama Ramlah bintu Al Waqi’ah Al Ghifariah juga masuk Islam. Sehingga separoh Bani Ghifar telah masuk Islam. Adapun separoh yang lainnya, telah menyatakan bahwa bila Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam telah hijrah ke Madinah maka mereka akan masuk Islam. Maka segera saja mereka berbondong-bondong masuk Islam setelah sampainya berita di kampung mereka bahwa Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam telah hijrah ke Al Madinah An Nabawiyah.

Hijrah Ke Al Madinah :

Dengan telah masuk Islamnya seluruh kampung Bani Ghifar, dan setelah peperangan Badar dan Uhud dan Khandaq, Abu Dzar bergegas menyiapkan dirinya untuk berhijrah ke Al Madinah dan langsung menemui Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di masjid beliau. Dan sejak itu Abu Dzar berkhidmat melayani berbagai kepentingan pribadi dan keluarga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia tinggal di Masjid Nabi dan selalu mengawal dan mendampingi Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kemanapun beliau berjalan. Sehingga Abu Dzar banyak menimba ilmu dari Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Sehingga Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam sangat mencintainya dan selalu mencari Abu dzar di setiap majlis beliau dan beliau menyesal bila di satu majlis, Abu Dzar tidak hadir padanya. Sehingga beliau menanyakan, mengapa dia tidak hadir dan ada halangan apa.

Begitu dekatnya Abu Dzar dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dan begitu sayangnya beliau kepada Abu Dzar, sehingga disuatu hari pernah Abu Dzar meminta jabatan kepada Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam. Maka beliau langsung menasehatinya : (tulis hadisnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad 3 / 164)

“Sesungguhnya engkau adalah orang yang lemah, dan sesungguhnya jabatan itu adalah amanah, dan sesungguhnya jabatan itu akan menjadi kehinaan dan penyesalan bagi orang yang menerima jabatan itu, kecuali orang yang mengambil jabatan itu dengan cara yang benar dan dia menunaikan amanah jabatan itu dengan benar pula”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya.

Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wa sallam pernah berpesan kepadanya :
(tulis haditsnya di kitab Hilyatul Auliya’ 1 / 162)

“Wahai Abu Dzar, engkau adalah seorang yang shaleh, sungguh engkau akan ditimpa berbagai mala petaka sepeninggalku”. Maka Abu Dzarpun bertanya : Apakah musibah itu sebagai ujian di jalan Allah ?”, Rasulullahpun menjawab : “Ya, di jalan Allah”. Dengan penuh semangat Abu Dzarpun menyatakan : “Selamat datang wahai mala petaka yang Allah taqdirkan”. HR. Abu Nu’aim Al Asfahani dalam kitab Al Hilyah jilid 1 hal. 162.

Asma’ bintu Yazid bin As Sakan menceritakan, bahwa di suatu hari Abu Dzar setelah menjalankan tugas kesehariannya melayani Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, dia beristirahat di masjid, dan memang tempat tinggalnya di masjid. Maka masuklah Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam ke masjid dan mendapati Abu Dzar dalam keadaan sedang tiduran padanya.

Maka Rasulullah meremas jari jemari telapak kakinya dengan telapak kaki beliau, sehingga Abu Dzarpun duduk dengan sempurna.

Rasulullah menanyainya : Tidakkah aku melihat engkau tidur ?.

Maka dia menjawab : Dimana lagi aku bisa tidur, apakah ada rumah bagiku selain masjid ?

Maka Rasulullah pun duduk bersamanya, kemudian beliau bertanya kepadanya :

Apa yang akan engkau lakukan bila engkau diusir dari masjid ini ?.

Abu Dzar menjawabnya :Aku akan pindah ke negeri Syam, karena Syam adalah negeri tempat hijrah, dan negeri hari kebangkitan di padang mahsyar, dan negeri para Nabi, sehingga aku akan menjadi penduduk negeri itu.

Kemudian Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bertanya lagi kepadanya :

Bagaimana pula bila engkau diusir dari negeri Syam ?

Maka Abu Dzar menjawab :

Aku akan kembali ke Masjid ini dan akan aku jadikan masjid ini sebagai rumahku dan tempat tinggalku.

Kemudian Nabi bertanya lagi :

Bagaimana kalau engkau diusir lagi dari padanya ?

Abu Dzar menjawab :

Kalau begitu aku akan mengambil pedangku dan aku akan memerangi pihak yang mengusirku sehingga aku mati.

Maka Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersenyum kecut mendengar jawaban Abu Dzar itu dan beliau menyatakan kepadanya :

Maukah aku tunjukkan kepadamu yang lebih baik darinya ?

Segera saja Abu Dzar menyatakan :

Tentu, demi bapakku dan ibuku wahai Rasulullah.

Maka beliaupun menyatakan kepadanya : “Engkau ikuti penguasamu, kemana saja dia perintahkan kamu, engkau pergi kemana saja engkau digiring oleh penguasamu, sehingga engkau menjumpaiku (yakni menjumpaiku di alam qubur) dalam keadaan mentaati penguasamu itu”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 6 hal. 457.

Disamping berbagai wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam tersebut, diriwayatkan pula pujian dari Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepada Abu Dzar sebagai berikut ini :
(tulis haditsnya di Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 161).

“Tidak ada makhluq yang berbicara di kolong langit yang biru dan yang dipikul oleh bumi, yang lebih benar ucapannya dari Abu Dzar”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal 161, juga diriwayatkan oleh At Tirmidzi dalam Sunannya, hadits ke 3801 dari Abdullah bin Amer radhiyallahu ‘anhuma.

Abu Dzar berjuang sendirian :

Setelah wafatnya Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam, Abu Dzar cenderung menyendiri. Tampak benar kesedihan pada wajahnya. Dia adalah orang yang keras, tegas, pemberani, dan sangat kuat berpegang dengan segenap ajaran Nabi Muhammad sallallahu alaihi wa aalihi wasallam disamping kebenciannya kepada segala bentuk kebid’ahan (yakni segala penyimpangan dari ajaran Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam). Dia adalah orang yang penyayang terhadap orang-orang lemah dari kalangan faqir dan miskin. Karena dia terus-menerus berpegang dengan wasiat Nabi sebagaimana yang beliau ceritakan : (artinya)

“Telah berwasiat kepadaku orang yang amat aku cintai (Yakni Rsaulullah) dengan tujuh perkara : Beliau memerintahkan aku untuk mencintai orang-orang miskin dan mendekati mereka, dan beliau memerintahkan aku untuk selalu melihat keadaan orang yang lebih menderita dariku. Beliau memerintahkan kepadaku juga untuk aku tidak meminta kepada seseorangpun untuk mendapatkan keperluanku sedikitpun, dan aku diperintahkan untuk tetap menyambung silaturrahmi walaupun karib kerabatku itu memboikot aku. Demikian pula aku diperintahkan untuk mengucapkan kebenaran walaupun serasa pahit untuk diucapkan, dan aku tidak boleh takut cercaan siapapun dalam menjalankan kebenaran. Aku dibimbing olehnya untuk selalu mengucapkan la haula wala quwwata illa billah (yakni tidak ada daya upaya dan tidak ada kekuatan kecuali dengan bantuan Allah), karena kalimat ini adalah simpanan perbendaharaan yang diletakkan di bawah Arsy Allah”. HR. Ahmad dalam Musnadnya jilid 5 hal. 159.

Abu Dzar mempunyai pendapat yang dirasa ganjil oleh banyak orang yang hidup di zamannya, tetapi mereka tidak bisa membantahnya. Diriwayatkan oleh Al Ahnaf bin Qais sebuah kejadian yang menunjukkan betapa berbedanya Abu Dzar dari yang lainnya, kata Al Ahnaf :

“Aku pernah masuk kota Al Madinah di suatu hari. Ketika itu aku sedang duduk di suatu halaqah (ya’ni duduk bergerombol dengan formasi duduknya melingkar) dengan orang-orang Quraisy. Tiba-tiba datanglah ke halaqah itu seorang pria yang compang camping bajunya, badannya kurus kering, dan wajahnya menunjukkan kesengsaraan hidup, dan orang inipun berdiri di hadapan mereka seraya berkata : Beri kabar gembira bagi orang-orang yang menyimpan kelebihan hartanya, dengan ancaman adzab Allah berupa dihimpit batu yang amat panas karena batu itu dibakar diatas api, dan batu itu pun diletakkan di dadanya sehingga sampai tenggelam padanya sehingga batu panas itu keluar dari pundaknya. Dan juga diletakkan batu panas itu di tulang pundaknya sehingga keluar di dadanya, demikian terus sehingga batu panas itu naik turun antara dada dan tulang pundaknya. Mendengar omongan orang ini, hadirin yang ada di halaqah itu menundukkan kepalanya. Maka aku melihat, tidak ada seorangpun yang menyapanya dari hadirin yang duduk di halaqah itu. Sehingga orang itu pun segera meninggalkan halaqah tersebut dan duduk menjauh daripadanya .
Maka akupun bertanya kepada yang hadir di halaqah itu : Siapakah dia ini ?, mereka menjawab :
Dia adalah Abu Dzar. Demi aku melihat keadaan demikian, akupun mendatangi tempat dia duduk menyendiri dan akupun duduk dihadapannya dan aku katakan kepadanya : Aku melihat, mereka yang duduk di halaqah itu tidak suka dengan apa yang engkau ucapkan. Abu Dzarpun menyatakan : Mereka itu adalah orang-orang yang tidak mengerti sama sekali. Sesungguhnya kekasihku Abul Qasim (yakni Nabi Muhammad) sallallahu alaihi wa aalihi wasallam pernah memanggil aku dan akupun segera memenuhi panggilan beliau. Maka beliaupun menyatakan kepadaku : Engkau lihat gunung Uhud itu ?!.
Aku melihat gunung itu dalam keadaan diterpa oleh sinar matahari pada punggungnya, dan aku menyangka beliau akan menyuruh aku untuk suatu keperluan padanya. Maka aku menjawab pertanyaan beliau : Aku melihatnya. Kemudian beliaupun bersabda : Tidaklah akan menyenangkan aku kalau seandainya aku punya emas sebesar itu, kecuali bila aku shodaqahkan semuanya sehingga tidak tersisa daripadanya kecuali tiga dinar (untuk keperluanku). Selanjutnya Abu Dzar menyatakan : Tetapi kemudian mereka itu kenyataannya selalu mengumpulkan dunia, mereka tidak mengerti sama sekali.Aku katakan kepadanya : Ada apa antara engkau dengan saudara-saudarmu dari kalangan orang-orang Quraisy. Mengapa engkau tidak minta bantuan dari mereka sehingga engkau mendapatkan sebagian harta mereka. Abu Dzar menjawab dengan tegas dan lantang :Tidak ! Demi Tuhanmu, aku tidak akan meminta dunia sedikitpun kepada mereka dan aku tidak akan minta fatwa dari mereka tentang agama, sehingga aku mati bergabung dengan Allah dan RasulNya”. Demikian diriwayatkan oleh Al Bukhari dalam Shahihnya hadits ke 1407 – 1408 dan Muslim dalam Shahihnya hadits ke 992 / 34 – 35.

Abu Dzar sangat keras dengan pendiriannya. Dia berpendapat bahwa menyimpan harta yang lebih dari keperluannya itu adalah haram. Sedangkan keumuman para Shahabat Nabi berpendapat, bahwa boleh menyimpan harta dengan syarat bahwa harta itu telah dizakati (yakni dikeluarkan zakatnya). Bahkan Abu Dzar menjauh dari para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam yang mulai makmur hidupnya karena menjabat jabatan di pemerintahan. Hal ini diceritakan oleh Abu Buraidah sebagai berikut :

“Ketika Abu Musa Al Asy’ari datang ke Madinah, dia langsung menemui Abu Dzar. Maka Abu Musa berusaha merangkul Abu Dzar, padahal Abu Musa adalah seorang pria yang kurus dan pendek. Sedangkan Abu Dzar adalah seorang pria yang hitam kulitnya dan lebat rambutnya. Maka ketika Abu Musa berusaha merangkulnya, dia mengatakan : Menjauhlah engkau dariku ! Abu Musa mengatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku. Abu Dzarpun menyatakan kepadanya sambil mendorongnya untuk menjauh darinya : “Aku bukan saudaramu, dulu memang aku saudaramu sebelum engkau menjabat jabatan di pemerintahan”. Selanjutnya Abu Buraidah menceritakan : Kemudian setelah itu datanglah Abu Hurairah menemuinya. Juga Abu Hurairah berusaha merangkulnya dan menyatakan kepadanya : Marhaban wahai saudaraku. Abu Dzar menyatakan kepadanya : Menjauhlah engkau dariku, apakah engkau menjabat satu jabatan dalam pemerintahan ? Abu Hurairah menjawab : Ya, aku menjabat jabatan dalam pemerintahan. Abu Dzar selanjutnya menanyainya : Apakah engkau berlomba-lomba membangun bangunan yang tinggi, atau membikin tanah pertanian, atau hewan piaraan ? Abu Hurairah menjawab : Tidak. Maka Abu Dzarpun menyatakan kepadanya : Kalau begitu engkau saudaraku, engkau saudaraku”. Demikian diriwayatkan kisah ini oleh Ibnu Sa’ad dala Thabaqatnya jilid 3 halaman 163.

Sikap Abu Dzar yang demikian keras, karena amat kuat berpegang dengan wasiat Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam kepadanya :
(tulis haditsnya dalam Thabaqat Ibnu Sa’ad jilid 3 hal. 162)

“Orang yang paling dekat diantara kalian dariku di hari kiamat, adalah yang keadaan hidupnya ketika meninggal dunia, seperti keadaannya ketika aku meninggalkannya untuk mati”. HR. Ibnu Sa’ad dalam Thabaqatnya jilid 3 hal. 162.

Abu Dzar keadaannya ketika Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam meninggal dunia, ialah sangat melarat. Dia ingin mempertahankan kondisi melarat itu ketika dia meninggal dunia nanti, karena ingin mendapatkan posisi yang paling dekat dengan Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam di hari kiamat kelak.

Meninggal dunia di tempat pengasingan :

Dengan sikap hidup yang demikian, Abu Dzar tidak punya teman dari kalangan sesama para Shahabat Nabi sallallahu alaihi wa aalihi wasallam. Dia pernah tinggal di negeri Syam di zaman pemerintahan Utsman bin Affan radhiyallahu anhu. Waktu itu gubernur negeri Syam adalah Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu anhu. Maka Mu’awiyah merasa terganggu dengan sikap hidupnya, sehingga meminta kepada Amirul Mu’minin Utsman bin Affan untuk memanggilnya ke Madinah kembali. Abu Dzar akhirnya dipanggil kembali ke Madinah oleh Utsman dan tentu dia segera menta’ati panggilan itu. Sesampainya di Madinah segera saja Abu Dzar menghadap Amirul Mu’minin Utsman bin Affan. Abu Dzar diberi tahu oleh Amirul Mu’minin bahwa dia dikehendaki untuk tinggal di Madinah menjadi orang dekatnya Amirul Mu’minin Utsman. Mendengar penjelasan itu Abu Dzar menegaskan kepada beliau :

“Wahai Amirul Mu’minin, aku tidak senang dengan posisi demikian. Izinkanlah aku untuk tinggal di daerah perbukitan Rabadzah di luar kota Madinah”.

Maka Amirul Mu’mininpun mengizinkannya dan memerintahkan untuk membekali Abu Dzar dengan beberapa ekor ternak dan budak belian untuk membantunya. Tetapi Abu Dzar menolaknya dengan menyatakan kepada beliau :

“Cukuplah bagi Abu Dzar, beberapa ekor ternak miliknya sendiri”.

Abu Dzar segera berangkat ke Rabadzah, dan di perbukitan tersebut tidak ada manusia yang tinggal di sana. Dia ingin mengasingkan diri di sana, demi melihat kebanyakan orang merasa terganggu dengan berbagai ungkapannya dan pendapatnya. Dia tinggal di tempat pengasingannya dengan anak perempuannya dan budak wanita miliknya yang hitam dan jelek rupa. Budak wanita itu dibebaskannya kemudian dinikahinya sebagai istri. Abu Dzar menghabiskan waktunya untuk berdzikir kepada Allah dan membaca Al Qur’an. Sesekali dia turun ke Madinah karena takut tergolong orang yang kembali menjadi badui setelah hijrah. Yang demikian itu dilarang oleh Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam.

Di suatu hari ketika Abu Dzar turun ke Al Madinah, sempat dia berkunjung ke Amirul Mu’minin dan di sana ada Ka’ab dan Abdullah bin Abbas sedang membicarakan tentang dibagi-baginya harta warisan Abdurrahman bi A’uf. Maka Amirul Mu’minin bertanya kepada Ka’ab : Wahai Aba Ishaq, bagaimana menurut pendapatmu bila harta seseorang itu yang telah ditunaikan zakatnya, apakah akan menjadi mala petaka bagi yang mengumpulkannya. Maka Ka’ab menjawab : Bila harta itu adalah kelebihan dari harta yang telah ditunaikan padanya haqnya Allah (yakni zakat), maka yang demikian itu tidak mengapa.

Mendengar jawaban itu Abu Dzar bangun dari tempat duduknya dan langsung memukul Ka’ab dengan tongkatnya pada bagian diantara kedua telinganya sehingga melukainya. Abu Dzar menyatakan kepada Ka’ab : Wahai anaknya perempuan Yahudi, kamu menganggap tidak ada kewajiban atasnya dalam perkara hartanya bila dia telah menunaikan zakat atas hartanya. Sedangkan Allah telah berfirman : (artinya)

”Dan mereka lebih mengutamakan saudaranya dari pada dirinya walaupun menyulitkan dirinya”. S. Al Hasyr 9, juga Allah berfirman : (artinya) ”Mereka kaum Mu’minin itu memberi makan kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan”. S. Ad Daher (dinamakan juga S. Al Insan) ayat ke 8. Dan beberapa ayat lainnya dari Al Qur’an yang semakna dengan ayat-ayat tersebut, yang merupakan dalil-dalil bagi Abu Dzar atas pendapatnya bahwa seseorang itu dianggap belum menunaikan kewajibannya atas hartanya bila dia belum menghabiskannya untuk shadaqah, kecuali meninggalkannya untuk keperluan mendesak bagi keluarganya.

Melihat kejadian itu, Amirul Mu’minin segera menegur Abu Dzar :

“Takutlah engkau kepada Allah wahai Aba Dzar, tahanlah tanganmu dari perbuatan itu dan tahanlah lesanmu untuk mengucapkan ucapan sekeras itu kepada saudaramu”. Juga Amirul Mu’minin meminta kepada Ka’ab untuk memaafkan Abu Dzar dan tidak menuntut hukum qishas (yakni hukum balas) atas Abu Dzar dengan tindakannya melukai kepala beliau. Dan Ka’abpun akhirnya memaafkannya. Abu Dzar kembali ketempat pengasingannya di Rabadzah dengan penuh kekecewaan dan kemarahan. Dia semakin senang untuk menyendiri dan semakin rindu untuk bertemu Allah dan RasulNya. Sampailah akhirnya dia menderita sakit ditempat pengasingannya. Dia hanya ditemani oleh anak istrinya di saat-saat akhir hidupnya. Tidak ada orang yang tahu bahwa Abu Dzar sedang sakit dan menderita dengan sakitnya. Bertambah hari tampak bertambah berat penyakit yang dideritanya. Dalam kondisi demikian, istrinya menangis dihadapannya.

Abu Dzar menegurnya : “Mengapa engkau menangis ?”.

Istrinya menjawab : “Aku menangis karena engkau pasti akan tiada lagi, dalam keadaan aku tidak punya kain kafan untuk membungkus jenazahmu”.

Maka Abu Dzar menasehati istrinya : “Jangan engkau menangis, karena aku telah pernah mendengar Rasulullah sallallahu alaihi wa aalihi wasallam bersabda di suatu hari dan aku ada di samping beliau bersama sekelompok orang yang lainnya. Beliau bersabda :
“Sungguh salah seorang dari kalian akan meninggal dunia di padang pasir yang akan disaksikan oleh sekelompok kaum Mu’minin”.

Kemudian Abu Dzar melanjutkan nasehatnya kepada istrinya : “Ketahuilah olehmu, semua orang yang hadir bersama aku waktu itu di hadapan Rasulullah, telah mati semua di kampung dan desanya. Dan tidak tertinggal di dunia ini dari yang hadir itu kecuali aku. Maka sudah pasti yang akan mati di padang pasir seperti yang dikabarkan oleh beliau itu adalah aku. Oleh karena itu sekarang engkau lihatlah ke jalan. Engkau pasti nanti akan melihat apa yang aku katakan. Aku tidaklah berdusta dan aku tidak didustai dengan berita ini (yakni pasti engkau akan mendapati sekelompok orang yang akan menyaksikan peristiwa kematianku seperti yang diberitakan oleh Rasulullah)”.

Istrinya menyatakan kepadanya : “Bagaimana mungkin akan ada orang yang engkau katakan, sedang musim haji telah lewat ?!”.

Abu Dzar tetap meyakinkan istrinya untuk melihat ke arah jalan : “Lihatlah jalan !”. Maka istrinya menuruti beliau mengamati jalanan yang ada didepan Rabadzah. Dan ternyata, ketika si istri sedang mengamati jalan di depan Rabadzah, apakah ada rombongan yang berlalu padanya, tiba-tiba dilihat olehnya dari kejauhan serombongan kafilah sedang mendekat ke arah Rabadhah yang menandakan bahwa mereka akan melewati jalan di depan Rabadzah. Amat gembira tentunya istri Abu Dzar melihatnya, sehingga rombongan itupun berhenti didepannya. Orang-orang di rombongan itupun menanyainya : Ada apa engkau ada di sini ? Maka perempuan itupun menyatakan kepada mereka : “Di sini ada seorang pria Muslim yang hendak mati, hendaknya kalian mengkafaninya, semoga Allah membalas kalian dengan pahalaNya”. Maka merekapun menanyainya : “Siapakah dia ?” Perempuan itu menjawab : “Dia adalah Abu Dzar”. Mendengar jawaban itu mereka berlarian turun dari kendaraannya masing-masing menuju gubuknya Abu Dzar. Dan ketika mereka sampai di gubuk itu, mereka mendapati Abu Dzar sedang terkulai lemas di atas tempat tidurnya. Tapi masih sempat juga Abu Dzar memberi tahu mereka : “Bergembiralah kalian, karena kalianlah yang diberitakan Nabi sebagai sekelompok kaum Mu’minin yang menyaksikan saat kematian Abu Dzar”. Kemudian Abu Dzar menyatakan kepada mereka : “Kalian menyaksikan bagaimana keadaanku hari ini. Seandainya jubbahku mencukupi sebagai kafanku, niscaya aku tidak dikafani kecuali dengannya. Aku memohon kepada kalian dengan nama Allah, hendaklah janganlah ada yang mengkafani jenazahku nanti seorangpun dari kalian, orang yang pernah menjabat sebagai pejabat pemerintah, atau tokoh masyarakat, atau utusan pemerintah untuk satu urusan”.

Semua anggota rombongan itu adalah orang-orang yang pernah menjabat berbagai kedudukan itu, kecuali seorang pemuda Anshar, yang menyatakan kepadanya : “Aku adalah orang yang engkau cari dengan persyaratan itu. Aku mempunyai dua jubbah dari hasil pintalan ibuku. Satu dari padanya ada di kantong tas bajuku, sedang yang lainnya ialah baju yang sedang aku pakai ini”. Mendengar omongan pemuda Anshar itu Abu Dzar amat gembira, kemudian dengan serta merta menyatakan kepadanya : “Engkaulah orang yang aku minta mengkafani jenazahku nanti dengan jubbahmu itu”.

Dengan penuh kegembiraan, Abu Dzar menghembuskan nafas terakhirnya, dan selamat tinggal dunia yang penuh duka dan nestapa ini. Selamat jalan wahai Abu Dzar untuk menemui Allah dan RasulNya yang amat engkau rindukan. Beristirahatlah engkau di sana dari berbagai penderitaan dunia ini. Jenazah Abu Dzar dirawat oleh pemuda Anshar pilihan Abu Dzar, dan segera dishalati serta dikuburkan oleh rombongan kafilah tersebut di Rabadzah itu.

P e n u t u p :

Anak istri Abu Dzar akhirnya diungsikan dari Rabadzah ke Madinah sepeninggalnya. Amirul Mu’minin Utsman bin Affan amat pilu mendengar peristiwa kematian Abu Dzar. Beliau hanya mampu menanggapi berita kematian itu dengan mengucapkan : “Semoga Allah merahmati Abu Dzar”. Putri Abu Dzar dimasukkan oleh Utsman bin Affan dalam keluarganya.

Demikianlah perjalanan hidup orang yang sangat besar ambisinya kepada kenikmatan hidup di akherat dan amat mengecilkan serta merendahkan dunia. Dia amat konsisten dengan pandangan hidupnya, sampaipun dibawa mati. Memang tidak mesti orang yang sendirian itu dianggap salah, asalkan dia menjalani kesendirian itu dengan bimbingan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah dengan pemahaman yang benar, yaitu pemahaman Salafus Shaleh.

Duhai, betapa berat untuk istiqamah di atas kebenaran itu. Di zaman pemerintahan Utsman bin Affan yang penuh limpahan barokah dan ilmu Al Qur’an dan As Sunnah serta masyarakat yang diliputi oleh kejujuran dan ketaqwaan, sempat ada orang yang kecewa dengan masyarakat itu, sehingga memilih hidup menyendiri sampai dijemput mati. Apatah lagi di zaman ini, masyarakat diliputi oleh kejahilan tentang ilmu Al Qur’an dan Al Hadits. Masyarakat yang jauh dari ketaqwaan, sehingga para pendustanya amat dipercaya dan diikuti, sedangkan orang-orang yang jujur justru dianggap pendusta dan dijauhi. Kalaulah tidak karena pertolongan, petunjuk dan bimbingan Allah, niscaya kita semua di zaman ini akan binasa dengan kesesatan, kedustaan dan pengkhianatan serta fitnah yang mendominasi hidup ini. Tapi ampunan dan rahmat Allah jualah yang kita harapkan untuk mengantarkan kita kepada
keridho’anNya.

Daftar Pustaka :

1. Al Qur’an Al Karim.
2. Fathul Bari Syarah Shahih Al Bukhari, Ibnu Hajr Al Asqalani.
3. Al Minhaj Fi Syarah Shahih Muslim bin Al Hajjaj, Al Imam Abu Zakaria AnNawawi.
4. At Thabaqatul Kubra, Muhammad bin Sa’ad.
5. Hilyatul Awliya’ Wa Thabaqatul Ashfiya’, Al Hafidl Abu Nu’aim Al Asfahani.
6 . Siyar A’lamin Nubala’, Al Imam Adz Dzahabi.
7. Musnad Imam Ahmad, Al Imam Ahmad bin Hanbal Asy Syaibani.
8. Sunan At Tirmidzi, Abu Isa Muhammad bin Isa bin Saurah At tirmidzi.

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari catatan ini

Silahkan SHARE ke rekan anda jika menurut anda note ini bermanfaat

SUMBER